001

275 35 4
                                    

Komen yang banyak!!

Selamat membaca!

1750 words




Seventeen, hari ulang tahun Jeongwoo yang seharusnya penuh canda tawa justru malah tergantikan dengan teriakan histeris penuh takut di adu dengan suara pistol yang terus menembak tanpa henti.

Seventeen, hari dimana semuanya tak sama lagi bagi pemuda manis berbahu selebar samudra tersebut sebab kedua orangtuanya harus merenggang nyawa tertembak pistol yang di acungkan oleh entah siapa.

Seventeen, hari yang tidak pernah ingin lagi dirinya ingat.

Penyesalan serta perasaan marah masih tersisa di dalam dirinya karena saat kejadian itu dia tidak bisa melakukan apapun selain bersembunyi di lemari tempat penyimpanan barang di dapur.

Lemah, dirinya yang lemah membuatnya tidak punya pilihan lain selain marah. Memang apa yang di harapkan dari anak yang baru saja menginjak usia tujuh belas tahun? Tidak ada.

Banyak orang yang mengatakan dirinya beruntung karena selamat dari kejadian mengenaskan tersebut tapi dia tidak berfikir demikian.

Jeongwoo berfikir sebaliknya.

Tangannya terkepal erat menahan sesuatu yang ada di dalam hatinya, gejolak yang terus datang ketika dia teringat peristiwa tersebut.

Sudah dua bulan berlalu tetapi dia masih tidak bisa melupakan bagaimana darah kedua orangtuanya menetes di lantai dingin rumah milik mereka, bagaimana wajah ketakutan sang ibu ketika menyuruhnya bersembunyi dan teriakan marah sang ayah yang terdengar pilu di telinganya.

Mata bak serigala miliknya menatap kearah langit atap putih rumah sakit kosong, dia tidak punya tujuan untuk hidup, tujuannya untuk hidup sudah tidak ada, sudah menghilang tidak tersisa.

Mengapa dia harus selamat? Mengapa dia harus hidup?! Mengapa!!

Satu tetes air mata turun dari sudut mata Jeongwoo. Lama kelamaan air mata yang turun dari sudut matanya semakin banyak, terus menetes tanpa henti.

Meski hatinya hancur dia tidak mengeluarkan suara sama sekali ketika menangis, dia seakan-akan menjadi bisu sejak kejadian itu.

Bahkan ketika di tanya oleh polisi dia tetap bungkam, tidak mengeluarkan suara sama sekali. Karena sikap bodohnya itulah sampai sekarang pembunuh dari kedua orangtuanya belum di temukan.

Andai saja, andai saja dia mengangkat suara dan menceritakan rincian kejadian serta ciri-ciri si pelaku mungkin kasus kedua orangtuanya sudah selesai dan kedua orangtuanya bisa tenang di alam sana.

Tapi dirinya tidak bisa...suaranya tidak ingin keluar, bibirnya bahkan tidak terbuka sedikitpun, dia terlalu takut...

"Park Jeongwoo, anda kedatangan seseorang." Perhatian Jeongwoo beralih kearah pintu yang di buka oleh suster yang selama ini merawat dan mengurusnya.

Raut wajahnya tidak berubah sama sekali ketika melihat siapa orang mengunjungi ruang rawat inapnya.

"Hai." Sapanya tersenyum kecil dengan nada canggung yang kentara.

"Iya." Singkat Jeongwoo tanpa menatap kearah orang itu berada.

Watanabe Haruto. Sepupu dari pihak ayahnya, ibu Haruto adalah adik ketiga dari sang ayah.

Mereka dekat, tapi dulu. Haruto lah yang menjauh dengan alasan yang tidak jelas.

"Untuk apa kemari." Jujur, Jeongwoo tidak ingin melihatnya saat ini maupun di masa depan. Dia muak dengan Haruto. Pergi dan datang seenaknya tanpa memikirkan bagaimana perasaan orang yang di tinggalkan.

𝙎𝙀𝙑𝙀𝙉𝙏𝙀𝙀𝙉 [ 𝐇𝐀𝐉𝐄𝐎𝐍𝐆𝐖𝐎𝐎 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang