“Ibu!”
Fara yang sedang berlibur bersama keluarganya, dikejutkan dengan kedatangan anak kecil yang tiba-tiba menghampiri.
“Eh, anak siapa ini, Fara?” tanya perempuan berkerudung tersebut sambil menggendong anak kecil yang memegangi rok Fara.
“Adek, kakak ini bukan mamamu, ya!” Fara mencoba melepas roknya dari genggaman sang anak.
“Tapi, wajah ibu mirip dengan foto ibuku.”
Fara dan keluarganya saling memandang.
“Bita ... Tsabita ...!” Suara bariton terdengar berteriak dari kejauhan sambil berlari.
“Ayah!” Anak perempuan itu melompat dari gendongan ibunya Fara.
“Ayah! Aku bertemu dengan ibu!”
Pria yang dipanggil ayah oleh anak tersebut, tak menggubris ucapan sang anak. Dia langsung menggendong Bita.
“Maafkan anak saya,” tutur pria tersebut yang akhirnya membuat Fara sekeluarga tertegun.
“Kamu, Satrio?” Bapak dari Fara langsung mengenali pria tersebut.
Begitu pula dengan pria yang dipanggil Satrio itu. “Pak ...?” sapanya gugup.
Kedua pria itu bertatapan.
“Pak, sudah, ayo pergi!” ajak Fara pada bapaknya.
Fara memandang sekali lagi pria yang menjadi ayah dari anak kecil tersebut. Tidak salah lagi, dia adalah, Satrio! Mantannya yang tiba-tiba menghilang di saat hari tunangan mereka.
**
“Sudahlah, Pak, Bu! Fara sudah bisa melupakan A Satrio! Kenapa ibu sama bapak yang malah masih kesal sama dia,” tutur Fara saat mereka telah pulang kembali ke rumah.
“Kalau begitu, menikahlah!” tuntut sang ibu.
“Kok tiba-tiba nyuruh nikah?”
“Karena melihat kamu yang sampai saat ini belum menikah dan tidak mau memilih pria lain. Ibu menjadi sakit hati setiap memikirkan pria yang kamu cintai dan sudah menyakitimu itu!” tegas sang ibu pada Fara.
“Bapak juga merasa dikhianati. Dia datang kemari baik-baik saat itu, lalu saat kami di sini menyiapkan segalanya dan berniat menerima lamarannya ... tapi dia malah tidak datang dan membohongi kami. Dan saat kamu cari dia ke rumahnya, dia sudah pergi dari desa itu.” Bapak juga mengatakan kekecewaannya.
“Bapak, sudahlah! Itu sudah lima tahun berlalu. Kenapa kalian mengungkitnya?” Fara mencoba menenangkan sang ibu, walau sebenarnya hati Fara juga merasa sangat sakit.
“Justru karena sudah lima tahun, Fara. Kamu tidak lihat, berapa umur anaknya kemarin?”
Fara diam saja, karena dia tahu anak yang dibawa oleh Satrio saat bertemu kemarin itu sekitar lima tahun.
“Umurnya sekitar lima tahun, Fara! Dia tidak meninggalkanmu karena sebuah alasan. Tapi karena perempuan lain! Ibu dari anak itu!” Ibu dari Fara masih merasa sakit hati karena jalan percintaan anak semata wayangnya yang tidak mulus ini.
“Sudahlah, Bu! Aku sekarang tidak bisa memikirkan itu. Lebih baik aku fokus pada penugasan CPNS-ku. Minggu depan aku harus sudah berada di tempat baru, bisakah kalian mendukungku untuk fokus pada karier saja?” pinta Fara pada kedua orang tuanya.
Sang bapak hanya diam dengan wajah tegasnya.
Sementara sang ibu ....
“Baiklah! Kamu boleh fokus pada karier, tapi jangan lupa, ibu dan bapak sudah tidak muda lagi dan ingin segera melihat kamu menikah.”
**
“Hari ini, Alhamdulillah kantor Desa Indrajaya kita mendapatkan anggota baru. Beliau ini merupakan anggota CPNS muda yang diangkat di desa kita. Agar lebih akrab lagi, biarkan beliau untuk memperkenalkan dirinya sendiri.”
Suasana kantor Desa Indrajaya di siang hari ini. Dengan bangunan tembok berwarna biru muda, lemari-lemari kayu yang ditutup pintu kaca hitam berjajar di tepi ruang, meja-meja dengan taplak bersulam bunga, lalu tumpukan kertas yang ditata di setiap sudut meja.
Perempuan berkerudung kuning itu berdiri di tengah-tengah. Sambil menatap pada semua rekan kerja di tempat barunya ini.
“Assalamualaikum, saya Faradilla Nur Hazmi, bisa dipanggil Fara nggak pakai H,” gurau Fara yang mencoba untuk akrab.
“Saya berasal dari kabupaten tetangga yang Alhamdulillah mendapatkan tugas di desa ini. Semoga keberadaan saya di sini bisa menyumbangkan andil untuk kemajuan desa dan kita bekerja sama dengan baik ke depannya. Sekian perkenalan dari saya.”
Faradilla Nur Hazmi, perempuan dengan mata bulat dan bulu mata yang tidak terlalu panjang. Jidatnya lebar tertutup oleh kerudung kuning. Wajahnya bulat telur dan tidak ada lesung di kedua pipi, tapi ia memiliki satu tahi lalat kecil di pipi kiri yang bisa disamarkan dengan bedak tipisnya. Dia cukup cantik dan tampak muda dengan polesan tipis perona bibir seperti buah persik.
Tapi ... siapa sangka, usia Fara sudah hampir menginjak kepala tiga, tepatnya 29 tahun pada tahun ini.
Sekian perkenalan singkat di hari baru Fara siang ini. Dia cukup menikmati atmosfer kerjanya, karena tidak berbeda jauh dengan suasana di kantor lama dulu. Meski ia belum banyak kenal dengan orang lain, tapi Fara bisa bergaul dengan baik dan berkenalan pada setiap rekan kerja yang lain. Baik yang sebaya, junior maupun seniornya.
“Kalau Bu Fara lupa sama nama-nama kami, bisa lihat di sini. Sudah ada fotonya juga!” tutur Salah satu anggota pamong desa yang menunjuk pada bagan organisasi desa.
Fara tersenyum saat melihat fotonya yang sudah ditempel di sana. Di bagian paling bawah tentunya.
**
Sementara itu, di tempat lain.
“Tadi kalau saya lihat kondisi jalan ke daerah sana, memang sudah waktunya untuk peremajaan, Pak. Semoga saja dana kita tahun ini cukup untuk memperbaiki jalan sampai ke sana!”
“Iya, kita koordinasi juga dengan pihak kecamatan. Mereka kemarin sudah bilang untuk setuju, kalau benar-benar jadi, berarti salah satu program kerja saya yang cukup besar ini bisa terlaksana. Mas Satrio, ngomong-ngomong ada kabar tentang anggota CPNS baru yang diangkat jadi pamong di desa kita? Perempuan, ya, katanya.”
“Oh, itu, saya sudah terima datanya Pak Kades. Hanya belum sempat saya baca-baca lagi.”
“Kemarin anaknya ada datang ke rumah saya. Ngobrol sama istri. Cantik, loh! Cocok sama Mas Satrio, barangkali jodoh! Masa carik ganteng dari desa kita ini jomblo terus? Udah berumur!”
“Pak Kades, ada-ada saja!”
Gurauan antara kades dan carik itu terjadi dalam perjalanan pulang mereka di mobil dinas. Dari awalnya yang mengobrol tentang pekerjaan, sampai membicarakan perjodohan. Maklum, sekretaris desa atau yang dikenal sebagai carik ini masih melajang di usianya yang menginjak 34 tahun.
Satrio Gunawan. Pria dengan rambut tebal yang hitam, wajahnya lebar dengan rahang yang tegas, ada lesung di pipi kanannya dan sedikit jenggot yang tumbuh di bagian dagu. Kariernya terbilang cukup mapan, sempat bekerja serabutan sejenak setelah lulus pascasarjana sampai ia diangkat menjadi salah satu pamong desa dengan status PNS. Hingga kini, perjalanan karier yang cukup panjang dan mulus membawa dirinya pada posisi sebagai sekretaris desa atau yang lebih dikenal sebagai ‘Carik’.
Satrio berjalan menuju mejanya, lalu dia pun melihat data diri dari pegawai baru. “Faradilla?” ucapnya. Seketika pria tersebut pun melihat ke bagian foto 3x4 yang dilampirkan. Matanya langsung menerawang ke sembarang arah usai melihat wajah cantik yang ada di foto tersebut.
“Ini kita mau ke mana?” Suara seseorang yang berjalan di luar ruang sekretaris desa.
“Pokoknya Bu Fara bakal kita ajak jalan-jalan. Nongkrong di warung seblak!”
“Suka makan seblak, kan?”
“Suka, suka!”
Satrio memperhatikan ketiga wanita yang melewati depan ruangannya. Salah satu yang berkerudung kuning dan ia sangat mengenali suaranya. Ya, itu Fara, mantannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kang Carik, Mantanku
RomancePertunangannya dengan Satrio telah batal karena pria tersebut tidak datang pada hari-H, Fara pun berusaha mengalihkan patah hatinya dengan meningkatkan karier. Lima tahun kemudian, dia bertemu dengan Satrio lagi dalam sebuah instansi desa tempat ia...