Tiga hari sudah nama Irene Revalina melambung di SF sebagai seseorang yang diduga pelakor dalam hubungan Saddam. Irene jelas kesal. Setiap berpapasan dengan orang kantor, ia pasti dicerca berbagai pertanyaan."Mbak Ririn, beneran selingkuh sama bos? Kok bisa sih, Mbak?"
"Mbak, berita itu benar apa nggak?"
"Mbak, serius mau saingan sama Audrey?"
"Mbak, saya nggak nyangka lho Mbak begitu. Padahal selama ini Mbak keliatan baik banget. Ingat-ingat, ya, Mbak, karma selalu datang belakangan. Jadi Pelakor itu nggak ada manfaatnya samasekali."
Awal-awal Irene menanggapi dengan santai, menjelaskan semua hanyalah salah paham. Namun, dikarenakan karyawan SF bejibun; tersebar dari kantor pusat ke kantor cabang hingga ke pabrik-pabrik, hanya segelintir orang yang memercayai keterangan Irene.
"Gila, say! Ternyata udah jauh banget mainnya. Kata orang, Mbak Ririn sering nginap di rumah Pak Bos, tau."
"Ah, masa, sih? Kayaknya Mbak Ririn keliatan kalem gitu. Gak percaya, ah."
"Eh, jangan salah, biasanya yang kalem dan baik di luar ini… busuk di dalam, say!"
Bisa dibilang, ini santapan Irene tadi pagi saat berada di bilik toilet. Ia mendengar beberapa karyawan bergosip. Begitu ia menampakkan diri, tiga perempuan itu tiba-tiba kicep dan kabur begitu saja.
Irene yang jelas malas mengurusi, tidak lagi peduli dengan citra baiknya yang tercoreng sudah. Ia sempat ingin menanyakan kabar itu kepada Saddam. Tetapi, begitu melihat seberapa sibuknya Pak Bos, ia urungkan niat.
Sudah beberapa kali Irene juga mencoba menghubungi Audrey namun tidak mendapat tanggapan. Aneh. Biasanya perempuan tersebut akan menelpon kembali jika panggilan Irene terabaikan oleh hal penting. Sekarang tidak sama sekali. Pesannya yang terkirim dua hari yang lalu pun tak kunjung dibalas. Padahal beberapa kali Irene mendapati Audrey online dalam laman chatnya.
Lantas, Irene menimbang-nimbang rencananya kini. Melihat karyawan kantor masih sering menggosipkan berita terkait, Irene merasa pusing. Ia sebenarnya tidak ingin terlalu memikirkan. Tetapi jika dibiarkan terus menerus, ia akan kehilangan fokus saat bekerja.
Dari sekian banyak karyawan, untung saja teman-teman di lantai 26 percaya 100% terhadap penjelasan Irene.
Setidaknya ia masih bisa dipercaya.
Tapi tetap saja ini harus segera diselesaikan!
Irene segera bangkit untuk mengetuk pintu ruangan bos. Ia sudah membulatkan niat; jatah cuti harus diambil sekarang, demi refreshing otak yang sudah mumet tidak karuan.
Saddam yang tengah berkutat dengan laporan bisnis, langsung alihkan perhatian. Ada sosok Irene yang hari ini mengenakan blouse warna peach dengan rok span putih di atas lutut. Ketukan heels berwarna hitam menggema dalam ruangan yang semula sunyi.
Saddam memerhatikan mimik wajah Si Mbak Sekretaris; mencoba meneliti ada apa di balik ekspresi wajahnya. Bibir yang dipoles warna coral dengan bagian dalam berwarna agak gelap itu terbuka; siap menumpahkan kata-kata yang Saddam tunggu.
"Pak, saya mau cuti." Tanpa basa-basi, Irene langsung ke inti persoalan.
Oh, ternyata itu tujuannya.
Saddam lekas menggeleng.
"Saya gak mau."
Oh, sepertinya ada yang salah dengan telinga bos. Irene yakin itu.
Maka, Irene mengulangi, "Maaf, Pak. Kan, saya yang mau cuti."
"Iya, saya gak mau kamu cuti."
"Gimana maksudnya, Pak?
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Selfie Dulu, Pak!
HumorSebenarnya, Saddam dan Irene tidak cocok untuk dikatakan sebagai bos dan karyawan. Keduanya gemar menjahili satu sama lain. Bahkan kejahilannya bisa sampai tingkat 'hehehe' alias tidak terdeteksi lagi levelnya. Barangkali, Saddam terlalu sering mend...