"IONA NAJMI!" teriakku sekuat tenaga. Iona menoleh padaku. Jenar juga turut menoleh. Ini adalah detik-detik terakhirku. Aku harus menekan semua rasa malu dan gugup. Usai menarik napas dalam sekali lagi, aku membuka mulutku. "Gue suka sama lo! Gue suka semuanya tentang lo, Iona! Semuanya! Jadi gue mohon, lo pilih diri lo sendiri, ya? Lo sangat berharga buat gue." Kepalaku semakin menunduk seiring aku menyelesaikan ucapanku. Kini kepalaku tertunduk sepenuhnya, pandangan lurus ke tempatku berpijak. Aku tidak memiliki keberanian yang tersisa untuk memandang Iona lagi. Rasanya seperti sebagian diriku terpampang begitu jelas hingga aku merasa malu untuk melihat siapa pun.
Sungguh, ini adalah cara paling buruk untuk mengungkapkan perasaan. Situasi yang genting, keadaanku yang terikat rantai ditambah ditodongkan pistol juga Iona yang tubuhnya terpasang bom. Pernyataan cintaku ini di luar ekspektasiku. Tapi, mau bagaimana lagi? Tidak ada jaminan aku—atau bahkan Iona akan keluar dari sini hidup-hidup. Di detik-detik menuju kematianku, aku mesti mengutamakan prioritas.
"Pramudya ...."
Aku mengangkat kepalaku perlahan. Ini hanya imajinasiku saja atau mata Iona berbinar. Mata Iona berbinar saat ini ketika memandangku sebagaimana ketika ia menatap Roos? Ah, tidak mungkin. Ini pasti halusinasi orang yang ingin mendekati ajal saja. Aku menertawakan diriku sendiri yang bahkan meraih hati Iona saja cuma angan-angan bagiku hingga akhir hayat.
Dor! Dor!
Mataku terbuka lebar. Dua suara tembakan itu melumpuhkan dua penjaga yang sebelumnya mengapit Iona. Selanjutnya rentetan bunyi senapan yang memenuhi ruangan. Satu persatu penjaga yang ada tumbang berjatuhan dengan darah yang mengalir dari kepala atau dada mereka. Penjaga yang berada di dekatku juga tumbang. Darah mengalir dari kepalanya. Aku menoleh ke sana ke mari, mencari dari mana pelaku yang menembaki para penjaga itu. Aku tidak melihat siapa pun.
Jenar meneriaki penjaganya yang tersisa untuk melindungi dirinya.
Mataku tertuju pada Iona. Terdapat seseorang yang berada di belakangnya, mengutak-atik rompi bom yang terpasang di tubuh Iona. Waktu di bom itu berhenti tepat sisa lima detik lagi. Terlalu sibuk memperhatikan Iona hingga aku tidak menyadari bahwa rantai ini sudah tidak mengikat tubuhku lagi. Aku baru menyadarinya ketika rantai itu mengenai kakiku. Tubuhku sudah bebas. Aku hendak berlari menuju Iona ketika seseorang menepuk bahuku dari belakang.
Ia memberikanku sebuah pistol. "Bawa ini," ucapnya. "Tenang aja, kita ada di pihak yang sama," tambahnya, menyadari kecurigaanku yang ragu-ragu menerima pistol pemberiannya.
Tanganku tetap menerima pistol pemberiannya walaupun aku tidak tahu akan menggunakannya apa tidak. Di tengah kekacauan ini, aku menyadari bahwa Roos tidak bergerak sama sekali. Bagaikan manekin, ia tetap berada di pose yang sama sejak terakhir kali Jenar memberi perintah padanya. Tatapan kosong, pistol di tangannya mengarah kepadaku, serta kaki yang tidak berubah posisinya sama sekali. Cuma dadanya yang kembang kempis perlahan menjadi pertanda bahwa ia masih hidup.
Aku mengambil pistol di tangannya. Lalu, aku menarik kerah bajunya. Menyeretnya sambil aku berjalan mencari tempat perlindungan. Roos tidak bergerak sama sekali. Dia benar-benar menjadi boneka untuk Jenar saat ini. Aku sungguh tidak menduga serum itu akan bekerja sungguhan. Aku merasa hidup di film atau novel fiksi.
Situasi saat ini benar-benar kacau. Baku tembak terjadi dimana-mana. Satu-persatu pasukan yang berada di pihak kami mulai menerobos ke dalam ruangan ini melalui pintu maupun jendela. Agaknya inilah bantuan yang Iona panggil saat itu. Awalnya aku mengira pasukan ini adalah polisi atau tentara, namun sepertinya bukan. Mereka memakai celana militer berwarna hitam serta kaus turtleneck tanpa lengan berwarna merah darah. Mereka tidak memakai banyak tambahan seperti penjaga-penjaga itu. Sebagian wajah mereka cuma ditutupi masker hitam biasa. Dan aku menyadari di lengan kanan mereka, terdapat tato berbentuk menyerupai salib, tetapi bukan salib sebab ada bentuk oval di atasnya¹. Itu yang membuatku semakin yakin bila mereka bukan polisi atau tentara. Kemampuan mereka jelas di atas pasukan-pasukan itu. Mereka menghabiskan lawan dengan efisien dan efektif. Pasukan Kematian kalau aku sebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Silver ✔️
Подростковая литература[ semesta pertama ] Hidup telah menakdirkanku berada di posisi kedua sejak aku dilahirkan di dunia ini. Aku berpikir bahwa sekeras apapun aku berjuang, tempatku adalah di posisi kedua. Setinggi apapun langit, masih ada langit di atasnya yang jauh l...