"Berhati-hatilah, tidak semua orang di dunia ini menyukaimu. Jadi, jangan mudah percaya dengan orang lain, walau itu keluarga sendiri."~ Adnan Faturrahman ~
Seorang pria mengenakan jas berwarna abu-abu tengah meeting dengan kliyen. Saat ini Adnan dan kliyen tersebut berjabat tangan, Adnan mendapatkan proyek baru berkat usahanya, meyakinkan kliyen agar bekerja sama dengannya.
Usai meeting, Adnan kembali ke ruangan kerjanya, tiba-tiba saja Astri masuk ke dalam ruangan Adnan.
"Mau apa Tante ke sini? Ada urusan apa, ya?" tanya Adnan.
"Hey, Adnan! Kamu sudah mengklaim dirimu pewaris? Ingat, ya, suami saya itu adiknya ayahmu! Masa ayahmu tidak meninggalkan harta sepeser pun kepada adiknya?" ujar Astri yang tidak terima, jika belum mendapatkan apa pun sepeninggal Rahman dan istrinya, Saffiyah.
Adnan tersenyum miring. "Tante, silakan hubungi notaris. Lihat, siapa yang ayah saya wariskan," sahut Adnan dengan sinis.
"Oke, saya akan memanggilnya! Lihat saja nanti!" Astri bergegas meninggalkan ruangan kerja Adnan. Adnan memutar-mutar kursi kebesarannya, menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Kalian pikir, ayah percaya sama kalian?"
Beberapa tahun yang lalu.
Saat itu, Adnan masih berumur dua puluh tahun, ia tengah memasak mi instan untuk menemaninya bertugas malam, mengerjakan tugas-tugas kuliah. Tiba-tiba saja, dari celah pintu ruangan kantor, terlihat ayahnya tengah sibuk. Adnan memutuskan mengetuk pintu, ayahnya mempersilakan Adnan masuk.
"Assalamualaikum, Ayah."
"Waalaikumussalam, Nak. Sini," sahut Rahman.
Adnan menatap ayahnya yang tengah sibuk dengan laptop. "Ayah lagi ngapain? Ayah nggak tidur?" tanya Adnan.
Rahman tersenyum, menatap Adnan. "Oh, Ayah baru selesai membuat surat warisan," sahut Rahman.
Adnan menatap Rahman begitu bingung. "Surat warisan? Kenapa buat sekarang?" tanya Adnan.
"Em, Adnan, umur kan, nggak ada yang tahu. Suatu saat Ayah pasti akan meninggal. Ayah kan, punya harta, harus ada yang melanjutkan, menjaga dan mengembangkan harta Ayah, saat Ayah udah nggak ada, Nak," terang Rahma.
Adnan menatap kesal ayahnya. "Kenapa Ayah membicarakan hal itu? Adnan nggak suka Ayah bahas mati!" tegas Adnan begitu kesal.
Rahman mengusap rambut Adnan dengan lembut. Putranya tengah merajuk. "Adnan, kan, persiapan. Nggak ada yang salah, supaya kita tenang saat meninggalkan sesuatu di dunia ini. Harta itu tidak dibawa mati, yang dibawa hanya amal dan ibadah. Sebelum Ayah mati, Ayah mau harta Ayah nanti jatuh kepada orang yang tepat."
"Udah, Ayah. Jangan bahas mati lagi. Dibilangin Adnan nggak suka dengernya! Pokoknya Ayah harus terus hidup, sampai Adnan lulus, menikah, punya anak."
Rahma tertawa kecil. "Iya, Nak. Semoga saja umur Ayah masih panjang, bisa temani kamu dalam menempuh perjalanan kehidupan. Surat ini kamu mau baca? Kamu harus tahu, Nak."
Adnan membaca surat wasiat ayahnya di laptop. Adnan cukup pintar untuk memahami isi surat tersebut. "Jadi, nanti Ayah akan memberikan padaku dan Bunda?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Hati Untuk Adnan (SELESAI)
Spiritual[Romance - Islami] Kehilangan orang tua, membuat Adnan Faturrahman kehilangan arah. Kepribadiannya berubah menjadi sosok yang salah jalan. Namun, takdir mempertemukannya dengan sosok gadis muslimah bernama Hasna Fadhillah dalam kondisinya yang amnes...