Warning! Cerita ini mengandung kekerasan verbal dan nonverbal, sexual desire, dan Using dangerous weapons.❗Only 18+ mohon baca sesuai usia ya, bijaklah dalam memilih bacaan.
Cowok itu menatap hamparan riuh perkotaan dengan perasaan antah berantah. Sepanjang hari ia selalu berpikir bagaimana cara mendapatkan adiknya kembali dan terkadang ia juga membayangkan bagaimana rasa sakit yang Hera dapatkan.
"Seharusnya Hera sekarang bermain ayunan bersama teman-temannya," Naga tertunduk, ia mengeluarkan foto sisa kenangannya bersama sang adik. "Seharusnya mereka sadar kalau perbuatan mereka itu lebih hina dari binatang."
'Seharusnya' tak terbilang kata tersebut keluar dari mulut Naga. Bagaimana tidak, sejak kecil ia sudah merasakan ketidaknyamanan dari keluarganya, seharusnya Naga dari awal membawa Hera pergi setelah ia tahu papa kebanggaannya dulu bermain dengan wanita lain.
"Vain," Naga menyandarkan dirinya di kursi taman dalam keadaan lesu. "Gimanapun caranya, gue gak cukup kuat untuk melawan orang-orang besar itu."
Disaat dilema dilema itu memenuhi kepalanya, tiba-tiba dari arah kiri terdengar suara anjing yang menggonggong kesakitan karena dikejar kawanan tawon dan berlari cepat melintasi Naga. Sampai akhirnya anjing tersebut menabrak batang pohon dan tidak bergerak lagi.
Naga lalu inisiatif untuk mendekati anjing malang itu, tak disangka tubuh anjing itu membengkak dan memerah.
"Ohh tidak, Lulu ku yang malang." Owner dari anjing ini datang lalu menangis sesenggukan saat mendapati anjingnya sudah mati.
Wanita itu lalu mengangkat anjingnya, "sudah mama bilang, jangan sering ganggu sarang tawon, mereka kecil tapi mematikan, lihat kan apa jadinya?" Omel wanita itu sambil menangis.
Setelah wanita itu pergi, Naga disana langsung terperanjat. Ia tahu bahwa insiden barusan merupakan clue untuk memulai langkahnya.
"Kecil tapi mematikan, gue bisa mendapatkannya dimana?" Naga memerhatikan beberapa bangkai tawon yang sudah mati.
.
"Itu udah ada ayam goreng di meja, dimakan ya, kalo gak habis pas gue balik nanti, besok cari makan sendiri aja diluar!" Celutuk Rhea sembari bersiap-siap ikut bersama El untuk urusan bisnis.
"Iya bawel." Balas Shenna ogah-ogahan, ia kini tengah sibuk dengan amunisi senapannya.
Rhea dan El akhirnya meninggalkan rumah, disana tinggallah Shenna dan Ola yang tengah membolak-balikkan bukunya.
Saat sibuk dengan urusannya, Shenna jadi teringat dengan gangguan yang dimilikinya, ia juga teringat pada masalah yang diidap oleh Naufal, teman baiknya Ola, "Ola, Naufal.. kenapa bisa dia didiagnosa bipolar?"
"Trauma masa lalu dan trauma masa kecil." Jawab Ola singkat.
"Apa penyakit semacam itu bakal bikin kita sengsara?" Shenna semakin penasaran.
Mendengar itu Ola langsung menutup bukunya, "gak ada penyakit yang membuat penderitanya bahagia, Shen." Tegasnya.
Shenna menghembus napas panjang, ucapan Ola benar seratus persen. Tapi entah mengapa rasanya Shenna jadi takut kalau-kalau ia mendapati hal semacam itu.
"Perlu diingat kalau bipolar itu semacam gangguan, lo bisa beraktivitas selagi minum obat dan Naufal terlambat menerima kenyataan, makanya ia hingga masuk ke fase depresi dan akhirnya..." Ola tak melanjutkan penjelasannya, terlalu sulit rasanya untuk menjelaskan kesulitan orang lain.
"Apa menurut lo gue saat ini udah bisa menerima kenyataan?" Tanya Shenna lagi.
Disaat itulah mata Ola membesar, ia tau arah pembahasan yang dilontarkan Shenna.
Ola mendekati wajahnya dan mengunci pandangan kepada Shenna, "Jangan mikir yang macam-macam, Lo cukup beruntung karena tinggal diantara orang-orang baik, kemungkinan-kemungkinan yang ada di kepala lo itu hanyalah asumsi, bukan kenyataan dan takkan pernah jadi nyata."
"Iyaa," Shenna berusaha berdamai dengan pikirannya. "Gue bakal berusaha agar asumsi itu gak akan terjadi."
"Bagus," Ola menyentuh puncak kepala Shenna, "keadaan emang maksa kita buat lebih dewasa sebelum waktunya, Shen. Beruntungnya kita menjadi salah satunya, Tuhan aja percaya Lo bisa lalui masa sulit, masa diri lo sendiri gak yakin?"
Shenna tersenyum, "ya juga ya."
Ola lalu berdiri, "Hari ini latihan?"
"Iya, nih mau pergi." Shenna lalu menyandang tas dengan segala perangkat untuk melatih teknik menembaknya.
"Gue ikut."
"Boleh."
Tempat latihan menembak itu tak jauh dari sini, bisa dibilang El memang menyediakan tempat ini untuk terus mengasah kemampuan teman-temannya, memang se effort itu ia dalam mengatur keterampilan teman-temannya.
Ola dan Shenna saling mengadu ketangkasan disana, tapi jelas-jelas Shenna lebih unggul karena hampir setiap hari ia kesini dan berlatih.
Keadaan yang cukup terpojok membuat Ola jadi kepikiran satu hal, bagaimana jadinya jika ia men distract pikiran Shenna dan membuat latihannya selama ini sia-sia.
"Lo hebat." Ujar Ola ketika Shenna istirahat sebentar.
Sementara Shenna hanya menggubris dengan senyum simpul.
"Andaikan pin target didepan itu bokap lo, gue rasa di setiap bagiannya bakal banyak bekas lobang peluru." Sahut Ola tiba-tiba.
Shenna disana langsung ketar ketir, entah bagaimana ia langsung membayangkan target didepannya itu sebagai ayahnya yang berdiri santai sambil tersenyum licik.
"Dimana aja lo kemaren nembaknya? Kaki ya? Atau kepala?" Ola tambah memanas-manasi.
Benar saja, Shenna dengan mudahnya ter distract oleh perkataan Ola. Ia buru-buru memakai penutup telinga dan kaca mata khusus dan mulai mengambil ancang-ancang untuk menembak.
Ola langsung mundur perlahan dan menjauh, menatap gadis itu tengah menggila sekarang. "Gue rela ambil resiko ini supaya lo sadar, Shenna."
Suara tembakan berulang itu nyaris membuat telinga Ola sakit, ia bisa melihat tangan Shenna yang memerah karena bertahan cukup lama dengan pistol itu.
Akhirnya Ola pun turun tangan, ia menembak lantai dekat Shenna berdiri, nyaris mengenai kaki Shenna.
Untungnya gadis yang menggila itu akhirnya sadar karena terjatuh akibat serangan Ola tadi. Ola lalu mendekati Shenna yang ngos-ngosan, bisa dipastikan selama Shenna menembak tadi ia sama sekali tidak bernapas.
"Gadis tolol." Ujar Ola begitu dingin, ia dengan santai melempar senjata mematikan itu dari tangan Shenna.
"Itu cuma bantalan busa! Bukan bokap lo! Sadar..." Hardik Ola sambil beberapa kali memukul kecil pipi Shenna.
Sepersekian detik kemudian Shenna lalu tersadar. Ia langsung menghembus tangannya yang panas dan memerah. "Gue tadi ngapain?"
Lagi lagi gadis ini tidak mengingat apa yang sudah ia kerjakan. "Lo hampir bunuh gue tadi." Ola jelas-jelas marah disana.
"Kalau gue nyuruh lo bayangin diri gue sebagai bokap lo, apa Lo bakal nyerang gue se brutal itu juga?!" Seru Ola.
"Lihat." Ola membantu Shenna berdiri dan menunjukkan pin target yang sudah hancur Shenna buat.
"Ya ampun." Shenna menutup mulutnya tanda tak percaya.
"Hati lo masih sangat sangat lemah, Shenna. Kalo lo pengen survive lebih lama lagi, lain kali coba bedain mana yang hasutan dan mana yang kebohongan." Ola coba membereskan kekacauan yang ada.
Shenna kemudian tertunduk, "maaf, Ola."
"It's okay, lo cuma perlu ubah persepsi berpikir, ini soal waktu." Ola lalu tersenyum.
"Ya, gue akan coba."
***
To be continued..
Hihi kita update lagiii!!
Jangan lupa vote dan comment yaaa..Big love,
rosaekavania❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
R.O.S.E
AksiWarning! 🔞 Rhea, Ola, Shenna, dan Eleanna. Mereka tidak akan balas dendam atas luka yang mereka terima, justru mereka akan bertekad dan memastikan tidak ada perempuan-perempuan setelahnya yang akan mendapat luka yang sama. Lalu bagaimana mereka bis...