31 :: Cerita rahasia (?)

200 32 6
                                    

Nadira membuka mata perlahan ketika merasakan ada seseorang yang mengusap pucuk kepalanya. Usapan itu terasa sangat lemah sehingga membuat Nadira menegakkan kepala.

"Jave?!" Sontak Nadira terkejut ketika melihat Jave yang sudah tersenyum tipis ke arahnya. Dengan cepat dia berlari keluar ruangan memanggil Jenan untuk memeriksa keadaan Jave.

Selang beberapa menit, akhirnya Jenan sampai dan langsung mengecek tanda vital serta kondisi Jave. "Apa yang lu rasain sekarang? lu bisa ngeliat jelas kan?" tanyanya tergesa.

"Cuma pusing aja sedikit." Jawab Jave dengan suara seraknya.

Air mata Nadira otomatis menggenang mendengar suara yang beberapa hari ini tak dia dengar. Rasa bahagiannya benar-benar meluap karena melihat sang kekasih yang baru saja siuman. "Sebentar." Nadira mengeluarkan ponsel untuk menghubungi omah, tante Ratna, dan kedua orang tua Jave.

"Syukurlah gak ada masalah di jahitan lu. Buat beberapa luka keruh juga mulai membaik." Ucap Jenan menjelaskan.

Helaan nafas lega Nadira keluarkan. "Gua udah kabarin orang rumah kalo lu siuman." Katanya.

Jenan mengangguk-angguk pelan. "Yaudah, gua mau lanjut beresin laporan dulu, nanti kalo udah selesai gua kesini lagi." pamitnya lalu melenggang pergi.

Setelah melihat kepergian Jenan, Nadira pun duduk di sebelah kasur Jave. Senyum manisnya tak kunjung memudar, menatap manik mata Jave yang juga terus menatap ke arahnya. "Jave.."

"Hm??"

"Maafin gua." Ucap Nadira sendu.

"Maaf buat apa?"

Kelopak mata Nadira memanas. "Maaf karena gua lu jadi kayak gini. Gua gatau harus gimana lagi selain minta maaf sama lu." tuturnya.

Jave mengusap punggung tangan Nadira. "Gausah ngerasa bersalah, gua gapapa kok. Luka segini mah gak ada apa-apanya." Dia mencoba menghibur untuk mencairkan suasana.

Sementara Nadira langsung berdecak. "Gua takut tau gak? Gua takut kehilangan lu." omelnya.

Mendengar hal tersebut, Jave terkekeh pelan. "Sini peluk." Ajaknya merentangkan tangan.

Sambil menangis kecil, Nadira beranjak memeluk tubuh Jave yang terbaring di atas kasur.

"Cup, cup, cup. Jangan nangis. Gua belum bisa jalan beliin lu permen." Cibir Jave gemas.

.

.

.

Jave sudah di pindahkan ke kamar rawat inap VIP setelah kesadarannya. Sekarang, Dave, Fanny, omah, dan Tania sudah berkumpul untuk melihat keadaan Jave.

"Nadira, makasih udah mau nemenin Jave sampe siuman." Ucap Fanny tersenyum manis.

Nadira menggeleng cepat. "Engga, gausah makasih. Udah seharusnya aku ngelakuin itu." jawabnya tak enak.

"Kalo gitu, kamu juga gausah minta maaf terus ke kita." Omah membalikkan ucapan Nadira dengan lembut.

"Sekarang, daripada memikirkan rasa bersalah kamu. Mending kita rencanain strategi buat ngejebak pelaku dari kecelakaan ini." Dave menambahkan. "Ini bukan kecelakaan biasa, tapi ini kecelakaan yang udah di rencanain sama seseorang." Lanjutnya.

Kedua alis Nadira tertaut bingung. "Maksud om ada orang yang sengaja mau nabrak aku??"

"Hm, kita bahas lebih lanjut setelah Jave keluar dari rumah sakit. Untuk sekarang, kita fokus jaga kesehatan dan jaga diri. Terutama kamu, Jave. Kamu harus cepet pulih biar bisa bantu papa." Pinta Dave tegas.

(✓) Rumah untuk NadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang