Chapter 19 Jangan Dengarkan Doaku

2.6K 79 18
                                    

Sorot mata penjual bakso menyapu ke arah kami saat kami melintasi lorong sempit di bawah flyover. Suara deru kendaraan di atas kepala. Lampu jalanan tak meraih sudut kota yang ini,  satu-satunya cahaya remang berasal dari gerobak bakso sederhana, wanginya menyeruak bercampur dengan aroma khas kota, asap kendaraan, dan sedikit sentuhan bau sampah.

Tangan besar Pak  Brengos, menggengam tangan gue, seakan dia tidak peduli dengan tatapan penjual bakso. Ketika gue berusaha melepaskan genggaman itu, dia malah mempereratnya.

Gestur sederhana itu membuat dada gue berdesir.

Pak Brengos memandu gue menuju bangku plastik merah di sudut warung, dan memesan dua mangkuk bakso.

"Duduk disini aja, Mas Sayang, biar celananya nggak kotor," katanya, dia menepuk paha tebalnya. Gue bisa merasakan kekuatan itu di bawah pantat gue saat gue duduk di pangkuannya.

Gue melirik sekeliling, hanya ada kami dan penjual bakso yang sibuk dengan kompornya. di samping kami, siluet gedung yang belum selesai berdiri megah dalam balutan kegelapan. Angin malam menerpa kerangka besi dan beton itu, menciptakan suara mendesir serupa bisikan hantu.

Jumat ini, Pak Brengos nampak begitu berwibawa mengenakan kemeja batik kesayangannya. Kemeja itu gue belikan hampir setahun lalu untuk kencan pertama kami, jelas tidak lagi sesuai ukuran tubuhnya, tampak hampir jebol karena otot-ototnya yang mengeras dan membengkak.

Jahitan terlihat di mana-mana, entah sudah berapa kali kemeja itu dikoyak dan dirobek oleh tangan bejad. Kancing-kancing aslinya sudah lama hilang, digantikan oleh kancing pengganti yang semuanya berbeda bentuk dan warna. Tiga kancing teratas tidak bisa lagi dikancingkan karena otot dadanya sudah terlalu besar.

"Jadi disini ya bapak selalu makan waktu kerja di proyek dulu?" gue bertanya seraya mengelus punggungnya.

"Benar, Mas Sayang," katanya, suaranya berat, "Teman nguli saya bilang, proyek gedhunge iki tiba-tiba dihentikan. Pemilik tanah durung bayar pajak, trus ternyata tanah ini sebenarnya milik pemerintah. Jadi, kabeh kuli bangunan di-berhentike begitu ae"

"Itukah mengapa waktu itu Pak Brengos meminjam uangku? Untuk membantu mereka?"

Pak Brengos mengangguk "Mereka koncoku sejak kecil di Kedungrejo, dan saya sing ngajak mereka ke ibukota, jadi saya berasa bertanggung jawab."

Gue merenung sejenak, mengelus dadanya, sambil merasakan detak jantungnya. "Bapak terlalu baik," gumam gue.

Gue bisa merasakan tensi otot di dada Pak Brengos, mengetahui dia mendengar dan memahami apa yang gue maksud. Dia yang terus memberi, padahal bebannya sendiri sudah sangat berat, apalagi keadaan istrinya terus memburuk.

Bukan hanya teman kulinya saja, gue denger dari Adi, Pak Brengos selalu membantu semua penduduk kampung yang membutuhkan.

Tapi sisi positifnya, dia akan lebih lama jadi lonteku.

Pak Brengos mengusap punggung gue dengan lembut, "Ndak semua wong untung seperti saya, bertemu karo Mas Sayang," bisiknya.

Tukang bakso berpipi tembem itu datang membawa mangkuk berisi bola-bola bakso kenyal dan mie. Pak Brengos, dengan tangannya yang besar dan kasar, mencapai sendok dan mengambil sejumput mie, lalu dengan lembut menyuapkannya ke mulut gue.

Sementara itu, penjual bakso menatap kami dengan menyipitkan mata.

Pak Brengos menatapnya balik, sebuah senyum tipis menghiasi bibirnya. "Matur nuwun, kami ndak butuh apa-apa lagi kok," dia berkata dengan nada yang tenang, namun ada intonasi menantang di dalamnya.

Penjual bakso tampak terkejut, dia membuka mulutnya seolah ingin berkata sesuatu, namun dia memilih untuk mundur dan kembali ke kompornya.

Gue merasakan desahan kepuasan dari dalam diri gue saat melihat penjual bakso itu mundur. Ada kekuatan luar biasa dalam ketenangan dan aura dominan Pak Brengos yang buat orang lain menunduk dan menjauh. Itu membuat gue merasa aman, merasa dilindungi di samping pria berotot itu.

Lonte Kekarku, Pak BrengosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang