Lara memandangi mobil-mobil pengangkut teh yang berlalu lalang silih berganti. Beginilah aktivitas perkebunan setiap akhir pekan. Para pekerja akan mendistribusikan teh yang sudah dipetik ke pabrik-pabrik teh. Di pabrik nantinya akan dilakukan proses pelayuan, penggilingan, oksidasi, pengeringan hingga pengemasan.
"Mbak Lara nggak panas apa berdiri di sini? Pindah ke dalam saja, Mbak."
Mbok Sum muncul seraya membawa minuman dingin di sebuah teko besar. Di belakangnya Tinah juga membawa teko besar yang sama. Teko-teko besar itu berisi teh manis dingin yang diperuntukkan bagi para pekerja. Teko-teko besar itu selanjutnya diletakkan di sebuah meja segiempat. Ada empat buah kursi panjang yang terbuat dari kayu mengelilingi meja. Selain kursi panjang ada juga kursi plastik yang disusun tinggi di sudut teras. Teras ini memang biasa digunakan para bekerja untuk beristirahat sejenak.
"Nggak apa-apa, Mbok. Matahari pagi itu baik kok untuk kesehatan." Lara memberi alasan. Ia memang suka mengamati aktivitas para pekerja kebun di pagi hari. Sewaktu di ibukota dulu ia hanya bisa melihat aktivitas seperti ini melalui media televisi ataupun internet. Sekarang ada di depan mata. Sayang rasanya jika dilewatkan.
"Ya sudah kalau memang Mbak Lara senang. Hanya saja jangan kelamaan. Nanti sakit. Kalau mataharinya sudah terlalu tinggi, duduk di dalam rumah saja," usul Mbok Sum. Lara mengangguk. Jikalau terlalu panas ia memang berencana akan mengamati dari jendela ruang tamu saja.
"Bawa pisang goreng dan kue-kue yang kita buat tadi, Nah. Bagikan dalam empat pinggan besar," pesan Mbok Sum pada Tinah.
"Baik, Mbok." Tinah pun berlalu.
"Mbok tinggal ke belakang dulu ya, Mbak. Mbok masih banyak pekerjaan," pamit Mbok Ningsih."
Lara mengangguk. Pandangan Lara terarah pada Bagas yang sibuk meneriakkan perintah pada para pekerja. Aris, Pak Mahdi dan Pak Zulkifli juga terlihat sibuk mengatur mobil pengangkut teh yang berlalu lalang. Dari banyaknya pekerja, pandangan Lara hanya terarah pada Bagas seorang. Dalam jarak lumayan jauh begini, Lara masih bisa melihat otot-otot lengan Bagas yang bersembulan saat mengangkat karung-karung teh. Ditambah Bagas juga sedang berkeringat menambah kemaskulinannya. Lara senang melihatnya.
Lara tidak mengerti, mengapa akhir-akhir ini ia gemar sekali memandangi Bagas bekerja. Lara ingin sekali menghubungkan kebiasaan anehnya ini dengan kondisinya yang sedang mengidam. Namun hati kecilnya menolak. Dirinya yang genit, tapi ia malah menimpakan kesalahan pada calon buah hatinya.
Pipi Lara memerah saat pandangannya bersirobok dengan Bagas yang kebetulan sedang memandang ke arahnya. Bagas tersenyum seraya mengedipkan sebelah matanya. Lara salah tingkah dan pura-pura tidak melihat aksi Bagas. Tepergok memandangi Bagas sampai sebegitunya membuat Lara malu.
"Dasar genit. Kena batunya kan kamu, Ra?" Lara mengomeli dirinya sendiri. Dari kejauhan Bagas tampak melangkah ke arahnya. Lara pura-pura tidak melihat. Ia menyibukkan diri dengan membantu Tinah menata pisang goreng dan kue-kue yang baru dibawa oleh Tinah.
"Kenapa terus memandangi Mas, Ra? Kangen ya?" goda Bagas. Kepanasan Bagas membuka dua buah kancing kemejanya. Mata Lara meronta-ronta ingin melihat pemandangan keren di depannya. Namun Lara menahan diri. Kali ini ia terpaksa harus mengakui kalau sikap gengsi ternyata masih ada di dirinya.
"Siapa yang memandangi, Mas? Orang Mas yang memandang saya kok," bantah Lara kalah malu.
"Begitu pun jadi. Artinya kita suka memandang satu sama lain. Mungkin ini adalah pertanda bahwa kita harus menyegerakan pernikahan ulang kita berdua." Bagas mengalah karena ia tahu kalau Lara malu. Sebaliknya Bagas berusaha melakukan lobby-lobby cantik demi memuluskan niatnya. Ia memang sudah tidak sabar ingin menikah ulang dengan Lara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menantang Takdir (Sudah Terbit Ebook)
RomanceAsmaulara Husna, terkadang merasa hidupnya mirip dengan kisah-kisah sinetron ikan terbang di televisi. Bagaimana tidak, ibu kandungnya lebih menyayangi Sesilia Hadinata, anak sang majikan dibanding dirinya sendiri. Setiap kali terjadi perselisihan a...