Bab 3

33 13 0
                                    

Zhafi mendapati dirinya berada di luar kendali. Gelenyar aneh yang dia rasakan mengontrol tindakannya, memaksa Zhafi meraup bibir ranum Kyra bahkan saat otak laki-laki itu mati-matian mempertahankan akal sehatnya.

Zhafi tak lagi mampu melawan ketika Kyra semakin mendekat, menjadikan tubuh tegapnya sebagai pijakan gadis mungil itu. Posisi Kyra yang berada tepat dalam dekapannya sukses meluluhlantakkan benteng pertahanan Zhafi. Dia merasa terbakar namun di saat yang sama Kyra menghadirkan kesejukan untuknya. Dia merasa haus dan aroma gadis itu seakan mampu menghentikan dahaganya.

Zhafi kalap. Tak lagi mengenali dirinya sendiri ketika akhirnya laki-laki itu menyerah, mengikuti keinginan tubuhnya tuk mempertemukan bibir keduanya dalam satu pagutan yang menuntut.

Ciuman panjang yang di dominasi oleh Zhafi selama sekian menit lamanya.

Hingga denting lift yang berbunyi terpaksa menghentikan sentuhan Zhafi di bibir Kyra.

Lift itu berhenti di lantai tujuh. Perlahan pintunya terbuka menampakkan antrian beberapa orang yang ingin menggunakan kubikel elektronik tersebut. Berlawanan dengan orang-orang yang beranjak masuk, Zhafi justru mendesak keluar dengan meraih tubuh Kyra yang terkulai lemas ke dalam gendongannya.

Dengan napas memburu dan mengabaikan ragam tatapan yang ditujukan padanya, Zhafi membawa kakinya melangkah menuju koridor kamar-kamar hotel di lantai tujuh Grand Lisabon.

Ntah apakah gadis dalam dekapannya itu masih sadarkan diri atau tidak, Zhafi tak lagi peduli. Sama tidak pedulinya dengan peringatan alam bawah sadar laki-laki itu ketika kaki panjangnya telah sampai di depan sebuah pintu bertuliskan angka 733.

Kamar hotel Zhafi yang sengaja disewakan oleh Aron untuk pesta penyambutannya malam ini.

Mungkin, Zhafi telah benar-benar kehilangan akal sehatnya saat laki-laki itu melangkah masuk dengan membawa Kyra yang setengah sadar menuju ranjang hotel laki-laki itu.

***

Embun bergerak gelisah di tempatnya. Gadis itu terus menoleh kesana-kemari, menyusuri venue dengan mata sipitnya sedari tadi. Embun bahkan mengabaikan euphoria puncak acara di panggung sederhana pusat ruangan itu.

Dia sedang fokus mencari sosok Kyra yang pamit undur diri sebentar sebelum perayaan tadi di buka namun nyatanya belum kembali hingga saat ini.

"Kemana sih tuh anak?" Embun bergumam. "Mana tasnya di tinggal pula. Mau nelpon juga percuma ckk Kyraaaa." cerocosnya kesal.

Azzam yang kebetulan berdiri tidak jauh dari Embun menyadari kegelisahan gadis itu. Dia mendekat, memutuskan bertanya dan membantu—jika bisa adik tingkatnya itu. "Kenapa, Em?

"Eh Bang Azzam." balas Embun terkesiap. "Nyari Kyra, bang. Dia belum balik-balik dari tadi."

Azzam mengernyit sembari melirik jam di pergelangan tangan. Kedua alis laki-laki itu makin bertaut dalam kala sadar sudah dua jam lebih sejak pertemuan mereka di pintu ballroom.

Dan gadis itu belum kembali juga?

"Udah coba telpon?" tanya Azzam mencoba tenang.

"Hp sama tasnya di tinggal, bang."

"Dia bilang mau ke mana?"

"Nyari angin doang katanya."

Azzam menghela napas panjang. Dia mengerjap gusar, mengkhawatirkan keadaan Kyra. Seharusnya sejak awal dia tau, Kyra tidak akan meninggalkan ruangan ini jika tidak ada hal yang mengganggunya. Seharusnya dia tetap memaksa menemani gadis itu tadi apapun yang terjadi.

Azzam benar-benar merasa buruk.

"Jangan khawatir." ujar Azzam tenang. "Gue bakal cek ke luar, area outdoor dan rooftop hotel ini. Lu di sini aja, bilang gue bakal balik lagi kalau ada yang nyari gue. Dan jangan ngasih tau dosen-dosen soal Kyra yang ngilang. Kita nggak perlu bikin kepanikan baru yang belum jelas. Paham?" jelasnya panjang memberi perintah.

Di Penghujung Jalan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang