01

285 33 5
                                    

Sudah hampir tiga bulan Solar sadar dari komanya dan sudah seminggu dia diperbolehkan untuk pulang.

Meski kondisi Solar sudah hampir stabil, tetapi saudara-saudaranya tetap melarangnya untuk memegang ponsel. Bahkan ruang pribadi miliknya pun terkunci rapat. Dia benar-benar harus istirahat total.

Siang di hari weekend ini, Solar sedang beristirahat di kamarnya dan sebuah kesempatan untuk saudara-saudara berkumpul untuk membicarakan topik yang sensitif. Mereka tidak mau Solar tahu tentang apa yang mereka bicarakan, maka dari itu ini adalah kesempatan emas mereka.

"Jadi gimana? Kapan kita akan jujur ke Solar?" tanya Blaze yang memulai pembicaraan siang itu.

"Kondisinya udah stabil, mungkin sore ini juga kita bisa bawa dia," jawab Gempa.

"Kondisinya emang udah stabil Gem, tapi apa mentalnya udah siap?" kali ini Halilintar ikut bersuara.

"Siap gak siap kak, karena cepat atau lambat Solar bakalan tahu semuanya," bukan Gempa yang angkat bicara, tetapi Ice.

"Kita juga harus siap-siap, karena kemungkinan besar Solar bakalan marah ke kita," ucap Taufan.

Mereka semua terdiam, memikirkan cara terbaik agar Solar tahu tentang apa yang sebenarnya telah terjadi.

Banyak bayangan yang kemungkinan terjadi di dalam pikiran mereka. Raut wajah Solar yang tak percaya dengan apa yang dilihatnya, sudah tercetak jelas di pikiran Halilintar. Amarah Solar yang meluap-luap juga sudah ada di bayangan Taufan. Perasaan kecewa milik Solar sudah terukir jelas di benak Gempa. Bentakan dan raungan Solar adalah hal yang terbesit di pikiran Blaze. Ice sendiri sudah tak tahu akan sehancur apa adiknya saat mengetahui fakta yang sebenarnya.

Halilintar menghela nafasnya, "Oke, nanti kita ajak Solar ke makam."

Final dari pembicaraan siang itu adalah, mengajak Solar ke makam tepat nanti sore. Semoga keputusan ini adalah keputusan terbaik untuk mereka dan untuk Solar sendiri.

"Duri, tolong doakan kami."

***

Manik silver itu hanya menatap ke arah langit-langit kamarnya yang hanya berwarna putih polos. Dirinya merasa bosan dengan sekitarnya, tidak boleh memainkan ponsel dan tidak boleh ke ruangan pribadinya adalah sebuah hal yang membosankan. Solar akhirnya memutuskan untuk membaca buku saja daripada dia harus mati kebosanan.

Tok tok tok

Suara pintu diketuk terdengar jelas di telinga Solar. Tak lama pintu tersebut dibuka oleh seorang remaja berkaos merah terang yang serupa dengan manik matanya.

"Solar, bisa kak Hali masuk?"

Solar mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan kakaknya.

Setelah mendapat jawaban dari adiknya, Halilintar lantas masuk ke dalam kamar adiknya. Ia mengambil duduk di tepi kasur tepat di sebelah Solar duduk.

"Kamu mau keluar?"

"Keluar?"

"Iya, keluar rumah."

"Kak Hali mau ngusir aku?"

"Bukan! Kak Hali sama yang lain mau ngajak kamu ke makam, mau?"

"MAU! Aku juga udah lama gak ziarah ke makam kakek, nenek, ayah, dan juga ibu. Aduh, kangen banget," jawab Solar dengan semangatnya.

Halilintar mengacak surai milik Solar, "Kalau begitu siap-siap ya! Kakak tunggu di bawah."

"Aye-aye captain!" jawab Solar.

ROBOT [hiatus] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang