Dahulu, ada seorang anak yang terpaksa didewasakan oleh keadaan.
Oleh tekanan orang tua, lingkungannya yang terus berkembang, teman-temannya, dan harapannya untuk dirinya sendiri.
Disini ia berdiri. Dimana ombak menyapa kedua kakinya lembut, anila menerpa rambutnya pelan, dan ambu air garam menelusup ke dalam indra penciumannya. Rumahnya. Satu-satunya tempat dimana ia merasa aman, selain dalam pelukan Bunda dan Ayah.
Tetapi, kedua rumahnya yang lain itu mungkin sedikit lebih susah digapai. Kalau pantai, tinggal pasang jaket, naik ke motor, brum brum sedikit sudah sampai.
Kapanpun, pantai tidak pernah menolak kehadirannya. Walaupun ia hanya datang untuk menyaksikan arunika yang tidak pernah gagal untuk menyejukkan mata, atau menangis sekali dua kali di bawah sinar rembulan bersama ombak-ombak yang tidak pernah berhenti berlari.
Berbeda dengan pelukan Bunda dan Ayah yang tidak pernah menginginkannya di situ.
Ketika hidupnya di dunia baru mencapai lima tahun, mungkin ia dapat dengan mudah terjun ke pelukan Bunda ketika terjatuh dari sepeda. Atau, setelah dimarahi Ayah karena nilainya di sekolah tak sampai tiga digit sempurna, setelah tubuhnya merah-merah penuh bilur, mungkin ia bisa mengadu ke Bunda juga, dan merasakan hangatnya dekapan Bunda sambil dielus-elus kepalanya. "Nggak apa-apa. Nilai seratus di Seni itu nggak mungkin. Seni itu subyektif," katanya.
Sekarang, dimana? Dimana ia bisa merasakan hangatnya dekapan seorang ibu setelah habis-habisan dicerca sang Ayah?
Ia tidak pernah dan tidak akan pernah membenci Ayah. Ayah adalah pahlawannya. Tamengnya. Ayah adalah segalanya baginya.
Lantas mengapa ia memutuskan untuk masuk fakultas kedokteran jika bukan karena Ayah?
Sedikit-banyak ia mengerti, bahwa umurnya pun sudah tidak muda lagi. Angka dua puluh satu yang tertancap sebagai lilin pada kue ulang tahunnya tiga hari lalu harusnya sudah menyadarkannya, bahwa Bunda tidak akan selalu ada di sisinya ketika ia butuh sebuah pelukan.
Yang ia punya sekarang hanyalah dirinya dan pantai yang bisa ia datangi ketika jenuh. Mungkin juga tiga temannya. Dan tumpukan jadwal mata kuliah padat semester enam. Pula serenteng kopi yang selalu hadir menyapanya setiap pagi dari lemari paling atas di dapur.
Dirinya berasma Hiero Ioannis. Hiero yang kuat. Hiero yang tidak pernah berkata tidak. Hiero yang selalu memprioritaskan keinginan orang lain dibandingkan keinginannya. Hiero yang menjadikan orang-orang terdekatnya sebagai motivasi untuk terus hidup.
Ini tentang Hiero dan jati dirinya yang berlapis. Tentang hatinya yang dingin. Tentang kegiatannya yang padat dan waktunya yang berjalan cepat.
9.37PM, Monday, 23/06/12
Written by tipografi on Wattpad,
Dedicated to my fragile family with its' never-ending problems,
And to those who have the same issue.Hiero Ioannis
❀
Hi hello everyone! It's Ndis here.
It's been what felt like centuries since the last time I published anything in this orange icon-ed app. I want to express how grateful I am towards those who have waited for me to come back and start my journey all over again.
I present to us; My second work on my profile entitled "About Time", an alternate universe with Lee Heeseung as a face claim for Hiero Ioannis, and Original Character Kaea Pranaya.
Banyak banyak terima kasih untuk kalian semua yang tengah membaca. Semoga betah sampai akhir, yaa. (Doakan aku juga berhasil menulis sampai akhir).
Disclaimers such as content warning have been listed on the description of this story. Other disclaimers in terms of story credits and faceclaims have been stated in my previous work. Kindly check them out for extra consideration.
Aku sayang kalian semua. My best wishes will insert each and every one of you, readers! Happy reading!
With love,
Ndis.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Time
Teen FictionSejak Hiero menginjak umur empat belas tahun, banyak tante, om, sepupu, bahkan anggota yang tak ia kenal dari keluarga Ayah suka bertanya, "Hiero pas gede mau jadi apa?" Hiero hanya tersenyum tipis, tidak tahu harus menjawab apa. Visualisasi cita-ci...