30: Sun Showers

12 11 0
                                    

Hari itu cuaca begitu cerah. Terik matahari menyengat kulit padahal masih pukul sepuluh pagi. Langit biru membumbung tinggi. Tidak ada awan satu pun yang mengambang di atas sana. Semilir angin sesekali berembus lembut, membelai tubuh para pelayat yang datang hari ini. Sungguh ironi sekali. Pada hari yang indah di mana mereka mestinya habiskan di taman atau pantai, justru mereka lalui dengan mendatangi acara pemakaman. Pakaian serba hitam yang para pelayat kenakan sangat kontras dengan lukisan alam yang muncul. Mereka berkabung atas meninggalnya teman, murid, dan idola mereka: Roos Hanami.

Roos meninggal karena bunuh diri.

Itu yang mereka percayai. Aku dan Iona sepakat akan hal ini. Menyebarkan alasan kematian Roos sebagai bunuh diri kepada orang-orang. Cuma dokter dan pemandi jenazah, serta 'teman-teman' Iona dari Pasukan Kematian itu yang mengetahui alasan sebenarnya di balik kematian Roos. Kami melakukan ini sebab tidak mungkin kami menjelaskan yang sebenarnya. Ditambah surat yang Roos berikan untuk Iona, semakin memperkuat seolah-olah Roos sungguh meninggal karena bunuh diri.

Sampai sekarang, masih terekam jelas detik-detik Roos mengembuskan napas terakhirnya. Kalimat-kalimat yang ia ucapkan dengan suaranya yang semakin menghilang. Wajah pasrahnya. Tatapannya pada Iona. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Dan acap kali aku teringat, hatiku terasa sakit. Aku merasa bersalah karena mestinya peluru itu menembakku, bukan Roos. "Pelurunya meleset. Harusnya itu mengarah ke lo." Itu kata pelaku penembak Roos sesaat sebelum ia bunuh diri di depan mataku. Semakin sakit lagi hatiku usai melihat betapa merananya Iona saat itu, menyaksikan laki-laki yang dicintainya meregang nyawa di pelukannya. Aku sudah merenggut seseorang yang sangat berharga bagi Iona, laki-laki yang ia cintai. Hingga kini, perasaan bersalah itu menghantuiku tiap malam—berubah menjadi mimpi buruk yang membuatku takut untuk tidur.

Seharusnya bukan Roos, melainkan aku.

Satu persatu pelayat itu mengundurkan diri. Usai kerumunan itu menghilang, aku dapat melihat empat orang gadis berjalan mendekat ke pusara baru itu. Satu di antara mereka berjongkok di dekat pusara itu. Meskipun dengan pakaian serba hitam itu pun aku dapat mengenalinya. Iona. Ia meletakkan sebuket bunga yang aku yakini ialah mawar kuning. Tiga orang gadis lainnya berdiri di sekitarnya. Mereka teman-teman Iona: Hana, Laura, dan Ayesha.

Beberapa menit Iona berada di sana, tampak berbicara pada pusara Roos. Seolah ia bisa melihatnya langsung di sana. Mungkin ia bisa merasakan kehadiran Roos. Mungkin saja.

Setetes air mengenai pipiku. Aku menengadah ke atas. Langit masih cerah, matahari masih terik sama seperti sebelumnya. Apa mungkin gerimis? Tetes-tetes air berikutnya yang mengenai wajah dan kepalaku menjadi jawabannya. Aku menoleh, melihat Jafar yang berlari memutar balik. Tidak lama kemudian, ia kembali dengan tiga buah payung—tidak tahu darimana ia mendapatkan payung-payung itu. Ia memberikan satu padaku.

"Lo mau di sini terus dan ngebiarin Iona keujanan?" tanyanya, melihatku masih belum menerima payung yang ia berikan.

Aku menerima payungnya.

Jafar berlari menuju gadis-gadis itu. Ia segera memayungi Laura, sedangkan satu payung yang dibawanya ia berikan pada Hana dan Ayesha.

Aku menarik napasku, lalu mengembuskannya perlahan. Sepanjang pemakaman dimulai, aku berdiri di kejauhan. Tidak mendekat ke pusara Roos sama sekali. Berusaha tidak terlihat oleh Iona. Perasaan malu dan bersalah yang menahan diriku untuk mendekati Iona. Aku merasa tidak pantas di dekatnya.

Hujan semakin banyak, aku memutuskan untuk bergegas menuju Iona. Berupaya menenggelamkan rasa malu dan bersalah di setiap langkahku. Saat tiba di dekatnya, aku memayunginya. Rintikan air perlahan membasahiku. Ia menengadah. Tatapan mata kami bertemu. Rasanya aku ingin luruh bersama air hujan detik itu juga.

Forever Silver ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang