31: Anubis, Neraka, dan Perasaanku

17 10 0
                                    

Tatkala aku memarkirkan motorku, aku melihat Iona berada di tengah anak-anak kecil di lapangan. Ia tampaknya sedang mengajari mereka bermain voli. Aku terbiasa mengunjungi lapangan ini ketika larut malam, saat suasana sudah sepi. Begitu melihat banyak anak-anak yang bermain di lapangan ketika petang ini membuatku merasa senang. Lapangan ini masih hidup sama seperti dulu. Selain anak-anak yang bermain voli, ada juga yang bermain layangan di tepi lapangan, berburu belalang, dan masih banyak lagi.

Aku masuk berjalan menuju tepi lapangan. Memperhatikan Iona yang masih sibuk mengajari anak-anak kecil itu yang terlihat antusias dengan setiap arahan yang Iona berikan. Aku jadi teringat saat Iona mengajariku voli beberapa tahun lampau, di tempat yang sama. Kalau bukan karenanya aku tidak bisa sejauh ini dan menemukan bakatku.

Iona menyadari kehadiranku usai ia menepi, membiarkan anak-anak kecil itu mencoba melakukan apa yang Iona sudah ajarkan. Ia berjalan ke menghampiriku. Rambut hitamnya yang kini pendek berkibas terembus angin yang meniup lembut. Senyumannya tak luntur sejak ia meninggalkan anak-anak kecil itu. Beberapa bulir keringat menuruni pipinya. Berurusan dengan anak kecil memang membutuhkan banyak tenaga.

"Lo beneran gak sibuk, 'kan, Pramudya?" tanyanya sembari duduk di sebelahku.

Aku menggeleng. "Enggak, kok."

"Gue pikir lo sibuk latihan voli."

"Hari ini libur karena badan gue butuh istirahat dari aktivitas fisik yang berat," ungkapku.

Iona mengangguk, tidak bertanya lebih jauh lagi.

"Gue mau cerita banyak ke lo soalnya. Gue harap lo mau dengerin ini karena gue percaya sama lo."

"Gue selalu mau dengerin cerita lo," ucapku meyakinkan Iona.

"Ini soal gue ...." Iona memulai. "Lo pasti liat sendiri, 'kan, gimana gue waktu kita berusaha keluar dari kapal kargo itu? Maksud gue ... lo pasti bertanya-tanya? Kenapa gue bisa melakukan itu semua?"

Aku mengangguk. Sejujurnya aku sudah tidak terlalu mempermasalahkan tentang sisi lain Iona yang itu. Bagaimana dia bisa melakukan hal yang tidak lazim dilakukan bagi seorang anak sekolahan biasa. Bagiku, selama Iona melakukan itu untuk melindungi dirinya sendiri dan orang yang berharga untuknya, aku tidak masalah. Sisi lain Iona itu tidak membuat rasa sukaku padanya berkurang.

"Yah, itu berawal saat gue kecelakaan pas SD. Kecelakaan yang bikin kaki gue gak bisa lagi dipake buat main voli," tuturnya. "Ternyata kecelakaan itu bukan kecelakaan biasa. Tanpa sengaja, karena kecelakaan itu gue dan mamah gue secara gak sadar berhasil bantu kelompok pembunuh bayaran dapetin targetnya."

Aku terkesiap. "Apa? Pembunuh bayaran?"

"Iya. Lo tau kelompok pembunuh bayaran yang terkenal itu? Anubis namanya." Iona mengecilkan suaranya saat menyebutkan nama kelompok itu.

Kepalaku menggeleng cepat. Aku tidak pernah mendengar nama kelompok pembunuh bayaran itu. Astaga, pembunuh bayaran saja sudah menyeramkan apalagi berkelompok! Dan tidak, aku tidak pernah mendengar nama Anubis kelompok pembunuh bayaran itu.

"Anubis sendiri diambil dari nama dewa kematian Mesir. Kalo lo liat tato di lengan mereka itu, itu adalah lambang Ankh. Simbol Anubis."

Berarti panggilan "Pasukan Kematian" dariku sudah tepat. Mereka memang pasukan yang mematikan dan namanya diambil dari dewa kematian.

"Dan lo ... bagian dari mereka?" tebakku. Berusaha mengendalikan wajahku untuk tidak menunjukkan ekspresi ngeri.

"Enggak, enggak," jawab Iona cepat. Lebih terdengar seperti berusaha menenangkan dan meyakinkanku. "Sebagai balasan karena udah bantuin mereka secara gak sengaja itu, mereka datengin gue waktu gue masih dirawat. Tanpa sepengetahuan mamah gue pastinya. Mereka nyuruh gue buat tiga permintaan dan mereka bakal mengabulkan."

Forever Silver ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang