33: Pramudya Carlo Dardanela

23 12 0
                                    

Rasanya tidak adil bila hanya Pramudya yang menceritakan tentangku dari sudut pandangnya. Aku pun juga mau menceritakan dirinya dari sudut pandangku. Mengisahkan perihal laki-laki yang membuatku selalu bertanya-tanya acap kali memandangnya: apakah di kehidupan sebelumnya aku seorang penyelamat alam semesta? Sebab, aku begitu beruntung dicintai oleh laki-laki seperti dirinya, Pramudya Carlo Dardanela.

[Pramudya menutup wajahnya usai aku mengucapkan kalimat terakhir itu.]

"Gue bakal sekolah di sekolah yang sama kayak dia," ujarku seusai membaca majalah olahraga.

Di majalah olahraga itu terpampang profil atlet muda berbakat. Salah satunya terdapat seorang atlet voli muda bernama Pramudya Carlo Dardanella. Meski tubuhnya sudah berubah drastis; lebih tinggi dan besar, tetapi mata tajamnya yang mengintimidasi itu membuatku yakin bahwa ia adalah Pramudya teman masa kecilku yang sudah lama berpisah denganku. Aku sangat bangga dengan pencapaiannya.

"Oh, ya, nama lo siapa? Kenalan dulu, dong!" pintaku kala berhasil mengajak Pramudya bergabung ke kelompokku saat MPLS. Aku memang berencana mengajaknya bergabung ke kelompokku sejak awal.

Ia mengangguk. "Halo. Gue Pramudya Carlo. Panggil aja Pram."

Apa? Dia sangat kaku sekali! Astaga, bahkan ia tidak tersenyum sama sekali. Wajahnya sangat datar serupa jalanan depan rumahku.

Mereka semua serempak menjawab, "Haii!"

"Gue Iona Najmi. Panggil gue Iona," ucapku sambil tersenyum ramah, berusaha membuatnya juga tersenyum. Aku memandangnya untuk beberapa saat, berharap ia mengingatku dari nama atau wajah. Tetapi ia tidak merespons apa-apa, cuma menatapku lurus. Aku memutuskan untuk beralih pada Laura.

"Iona, kok anggota kelompok kamu cuma ada sembilan orang?" tanya Kak Nada, kakak pembimbing kelompokku.

Saat itu hari terakhir MPLS, kami sedang berolahraga jalan sehat mengelilingi perumahan sekitar.

Aku menoleh ke belakang, menghitung jumlah anggota kelompokku yang cuma ada sembilan termasuk diriku. Benar saja, kurang satu orang.

"Eh? Kurang ..."

"Pramudya!" sambung seorang laki-laki anggota kelompokku, Jafar.

"Oh, iya!" seruku. Aduh, bagaimana aku bisa melupakannya? Lagi pula kenapa ia bisa menghilang? "Kak, aku izin cari Pramudya. Kakak duluan aja sama temen-temen yang lain," ucapku. Ini tanggung jawabku sebagai ketua yang mestinya menjaga anggotanya.

"Gue ikut," ucap Jafar.

"Oke, hati-hati, ya!" pesan Kak Nada sebelum aku dan Jafar bergegas mencari Pramudya.

Pikiranku mencar kemana-mana. Aku mengkhawatirkan keberadaannya. Bagaimana bisa aku tidak menyadari ketidakhadirannya? Sejak kapan ia mulai menghilang? Dasar ketua tidak berguna, umpatku dalam hati. Ketua macam apa yang membiarkan anggotanya menghilang tanpa jejak. Bukan masalah ia laki-laki dan sudah SMA jadi tidak perlu terlalu khawatir, namun ini masalah tanggung jawab dan tugas yang mestinya kulaksanakan dengan benar.

"Maaf, ya, gue lalai karena gak mantau jumlah anggota regu gue," sesalku sambil membungkukkan tubuhku. Kami berhasil menemukannya 15 menit kemudian. Ia sedang terduduk seorang diri di bahu jalan. Pemandangan itu mengingatkanku saat pertama kali melihat Pramudya di lapangan voli sore itu. Ia juga terduduk seorang diri di tepi lapangan, wajah penuh air mata.

Forever Silver ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang