PROLOG

294 29 1
                                    

KEGELAPAN, seolah menyelimutiku dalam keheningan total tanpa setitik cahaya. Hawa dingin tidak luput pula hadir untuk menambah tempo detak jantung. Hingga akhirnya, rasa takut dan panik bergejolak menjadi satu. Kaki mencoba melangkah, mencari jalan ke luar tanpa arah.

Di mana ... dan mengapa aku berada di sini?

"JANGAN PERGI!"

Suara teriakan yang menggema dan mengejutkan. Terdengar jelas, pemilik suara berat tersebut adalah seorang pria. Namun, kehadirannya tidak kasat mata setelah aku menoleh ke segala arah untuk mencarinya.

"JANGAN PERGI!"

Teriakan sumbang itu lagi, tetapi kali ini mengandung amarah yang membuatku bertambah panik. Aku menutup kedua telinga menggunakan tangan, memejamkan mata dan berharap bahwa semua ini adalah mimpi.

Setelah beberapa lama, aku mencoba membuka mata secara perlahan. Entah sejak kapan, seorang pria tengah berdiri dekat di hadapanku. Ekspresinya nyaris tidak terlihat di balik tudung jaket yang menutupi setengah wajahnya. Samar-samar terlihat warna kulitnya yang begitu pucat. Aliran air mata pada pipinya mulai menitik tanpa suara. Mendadak saja dia berlutut, menunduk dan menyuarakan isakan kecil. Alih-alih merasa iba, naluriku merasakan atmosfer membahayakan dari orang tersebut.

Secara mengejutkan, sebelum mencoba bergerak untuk menjauh, kedua tangan dari pria tersebut memegangi pergelangan kakiku dan bergumam, "Jangan pergi, kumohon."

Rupanya, teriakan itu adalah darinya.

Dahiku mengerut, merasa bingung akan permohonan dan tindakannya. Mulutku menolak keinginan otak untuk melemparkan pertanyaan dari segala kegelisahan ini. Di momen yang sama, pelupuk mataku sudah ikut menggenang basah. Seolah-olah, ada ikatan kuat dalam diriku pada perasaan pria di bawah ini. Semakin aku berusaha mengingat apa yang sedang terjadi, rasa sakit mulai menjalar di kepala.

Tiba-tiba, tubuh ini terasa ditarik oleh sesuatu dengan kuat dan cepat, sampai membuatku menjauh tanpa dapat dikendalikan. Pria tersebut bangkit dan langsung mengejar dengan tangan terulur yang berusaha menggapaiku. Gagal, kehadirannya sudah jauh sirna dari pandanganku.

Di sela semua itu, sebuah lembaran foto yang setengah terbakar sedang terjatuh begitu perlahan di hadapanku. Terlihat tangkapan gambar seorang wanita memasang senyum, lalu hangus menjadi uraian abu oleh lahapan api.

Aku tidak bisa memahami kejadian acak ini.

Terkejut dengan hebat, jantung seperti mencelus ketika muncul sensasi adanya gerbang dimensi lain terbuka dan melemparku tanpa aba-aba. Tanpa mengedipkan mata, aku bisa mengetahui bagaimana tarikan kuat telah memindahkan diri ini ke lokasi yang berbeda.

Embusan angin menerpa rambut panjangku, kedua mata menjadi membelalak, telinga mulai mendengar bahwa seluruh dunia berteriak histeris dan akhirnya tersadar bahwa itu adalah teriakanku sendiri. Aku terhempas di udara, tidak ada jarak antara tubuh dengan langit yang dihiasi cahaya purnama. Gedung besar memenuhi pandangan, sudah pasti menjadi sarana awal terlemparnya tubuhku dari atas sana. Apakah ... aku akan mati setelah membentur tanah?

Sebelum memejamkan mata dalam rasa pasrah, situasi menjadi berubah perlahan-lahan.

Kakiku mendadak menginjak permukaan, tiada lagi tubuh yang melambung ke udara. Suara dentingan keras mulai menarik perhatianku, dan terlihatlah pagar pembatas kereta yang menutup penyeberangan jalan. Seketika, aku menyadari posisi yang berada di tengah-tengah rel kereta. Ketika hendak melangkah pergi, satu kakiku yang terlapisi sepatu telah terjepit di sela-sela besi rel dan sulit dilepaskan dalam percobaan berkali-kali.

Begitu panik saat terdengar deruan mesin dan terlihat sebuah kereta hendak mendekat di jalur yang sama denganku. Sorot lampunya yang sangat terang, mulai menyinariku. Terdapat suara deritan melengking dan percikan dari roda kereta api, mengartikan sang masinis telah menarik pedal rem akibat sadar akan posisiku.

Mulut kereta sedikit lagi menciumku. Semakin mendekat dan mendekat, mata menjadi membeliak hebat yang mungkin nyaris saja terlepas dari rongganya. Sudah terlambat untuk menyelamatkan diri, sehingga tersambutlah dengan teriakan melengkingku dalam ketakutan.

Namun, lagi-lagi keadaan berubah dalam sekejap mata.

Sebuah tarikan yang sama telah muncul. Kedatangan kereta api telah meredup, lalu digantikan oleh kegelapan yang samar. Segalanya terasa begitu ringan layaknya tidak ada lagi beban yang menggelayuti tubuh. Perlahan, aku tahu bahwa kedua kalinya diri ini akan jatuh dari ketinggian. Di sisiku, terlihat adanya tebing dan jelas tubuh ini akan hancur ke bebatuan di bawah sana. 

Cepat atau lambat, aku merasa yakin akan perubahan posisi dalam menolak penyambutan kematian. Mata dipejamkan, menunggu hasil akhir tanpa mengira-ngira.

Di kala rasa sejuk mulai digantikan oleh hawa yang panas dan kaki telah menyentuh pijakan, mataku mulai fokus untuk melihat keadaan sekitar. Seluruh pemandangan telah dipenuhi kobaran api dan asap. Beberapa serpihan panas mulai mendarat di tubuhku. Lenganku yang dilapisi kemeja putih, kini tergores akan retakan puing-puing dan mengalirkan darah. Baru kali ini aku merasakan sakit sejak awal menyaksikan sarana kematian. Insting menyelamatkan diri mulai bergejolak dan merasa takut jika benar-benar akan kehilangan nyawa.

Abu panas bertebaran dan membuatku terbatuk-batuk. Menyesakkan napas, rasanya kadar oksigen semakin menipis dan mencekik paru-paru. Percuma berteriak, tidak ada tanda-tanda siapa pun yang bisa menolong.

Pada akhirnya, terlihat sebuah jalur menuju lantai bawah. Saat berjalan di dekat pembatas yang memperlihatkan area lantai bawah, plafon mulai runtuh dan aku secepatnya menghindar. Namun, kakiku justru tergelincir membentur pagar pembatas yang panas. Retak dan justru membuatku berhasil terjun ke bawah. Lautan api akan melahapku sebentar lagi. Panas yang menyeruak, membuat kedua lenganku menyilang untuk menutupi wajah, meyakinkan diri jika kematian benar-benar hadir dengan cara seperti ini.

Bukan termakan oleh kobaran api, melainkan muncul transisi mengejutkan dengan terceburnya tubuhku ke air yang sungguh dalam. Dingin dan menenangkan, sungguh berbanding terbalik dengan sebelumnya.

Tenggelam, aku tidak bisa bergerak ke permukaan, meski meronta-ronta sehebat mungkin. Waktu seolah berjalan lambat, menunggu sisa napas yang akan terkikis perlahan. Tubuh terasa seperti batu yang perlahan turun menuju dasar air. 

Sinar rembulan yang berada di permukaan, terlihat kabur secara perlahan. Napas telah habis, aku mulai terbatuk hebat. Rasanya paru-paru ini akan meledak karena tidak ada pompaan oksigen. Tekanan air yang masuk, semakin lama membuatku pusing dan sangat menyakitkan. Mata terasa berat dan kesadaran mulai memudar.

Entah sejak kapan, perasaan lega muncul. Dingin oleh angin, tiada lagi napas yang menyesakkan.

Aku tidak bisa menerima kesengsaraan dalam ketakutan dari semua faktor yang mengancam nyawa. Sakit dan takut, kewarasanku bisa memudar jika terus menghadapi hal seperti ini.

Siapa saja .... Kumohon, tolonglah aku! Tolong hentikan semuanya!

Tubuhku menjadi berdiri tegap, tetapi penglihatan tidak dapat fokus dan begitu samar-samar. Terdengar jelas suara rintikan hujan dan terpaan angin malam. Tidak ada penerangan api, melainkan lampu-lampu yang menerangi banyaknya orang sedang berlalu lalang. Aku berada di antara mereka, lantas apa lagi yang akan menghampiriku dalam ketakutan?

Terdapat seorang wanita berteriak di dekat telingaku. Namun, belum sempat menggubris perkataannya sebelum kakiku terkulai lemas dan kehilangan keseimbangan. Baru tersadar, tanganku sedang memegangi payung kecil mulai lepas. Seketika, tubuhku ditangkap oleh beberapa orang yang panik dan meminta pertolongan secepatnya.

Perlahan .... semuanya berubah menjadi gelap dan mengetahui jika semua kejadian aneh ini telah berhenti seperti yang kutunggu sedari awal.

- ♧ -

Deja Vu [ Ashley Lincate ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang