Pintu ruangan yang dibanting keras membuat semua pegawai yang bekerja jadi terperanjat kaget.
Saddam berjalan lurus tanpa melirik kanan kiri, tampangnya tertekuk kesal. Ia berbelok di depan sana untuk menuju ruangan. Lalu tak lama kemudian, terdengar lagi suara pintu yang berdentum nyaring.
Mata mereka kembali lagi ke pintu masuk.
Irene berjalan santai menutup pintu yang tadi terbuka. Walau tidak sebringas Saddam, perempuan itu tetap sama dinginnya. Suara ketukan hak terdengar jelas karena semua karyawan mendadak hening setelah bantingan pintu tadi.
"Heh," Anggun mendorong kursinya mendekati meja Sonya. Ocha pun sama, kursi kerja dengan roda itu didorongnya cepat menggunakan kaki. "Angin puyuh atau topan yang lewat barusan?"
"Tornado, Mbak."
"Buset, gue merinding parah."
"Aduh, kok mami sama papi berantem, ya?" Ocha gigit jari. "Bisa gawat ini. Kalian inget gak terakhir mereka berantem kayak apa?"
Lantas semua orang dalam ruangan itu seolah ditarik kembali ke masa lalu.
"Laporan kamu ini kayak tulisan anak SD tau nggak?!"
Semua mata memandang penasaran sembari menunggu seseorang berjalan ke arah mereka.
Teresa.
Perempuan itu menunduk dengan air mata menetes tak tertahankan. Di genggaman tangan, ada laporan yang tak tau lagi bentuknya.
"Tere, bos bilang apa?" Mitha mendekat.
Tere yang masih terisak menyerahkan laporannya sembari terbata-bata menjelaskan, "Bos, bilang banyak salahnya, aku harus teliti lagi, lima menit, selesai."
"Ya sudah, aku bantu, ya." Mitha mengajak Tere untuk kembali menuju mejanya.
"Tere," Irene memanggil.
Perempuan yang keadaannya sudah kacau ini pun menoleh.
"I-iya, Bu?"
"Bapak minta laporannya dirombak total. Kamu banyak kesalahan input."
Tere semakin lemas mendengarnya. Irene sudah berlalu. Orang-orang dalam ruangan itu pun mendengar suara perdebatan di belokan menuju ruang Saddam.
"Bapak bisa gak bilangnya gak usah sambil bentak?"
"Saya gak suka karyawan yang gak kompeten, Airin! Ini bukan tempat kuliah, ini tempat kerja! Gak ada yang namanya masih belajar. Kalo udah kerja, harus benar-benar punya kompetensi!"
"Tere itu fresh graduate, Pak. Wajar kalo dia masih agak kaku dan ada salahnya. Toh, itu manusiawi. Gak semua orang sempurna kayak Bapak! Cuma Bapak doang yang sempurna di sini!"
"Airin, kamu—?!"
"Kenapa lagi, Pak?"
"Airin, saya marah sama kamu!"
"Ya sudah!"
Dan semua orang tau, tiga hari setelah itu Teresa mengajukan pengunduran dirinya.
"Airin! Saya mau batalin pertemuan itu!"
Lagi-lagi, para karyawan mengintip di balik meja masing-masing. Terlihat sosok Saddam berjalan dengan cepat, Irene di belakangnya mengikuti dengan raut kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Selfie Dulu, Pak!
MizahSebenarnya, Saddam dan Irene tidak cocok untuk dikatakan sebagai bos dan karyawan. Keduanya gemar menjahili satu sama lain. Bahkan kejahilannya bisa sampai tingkat 'hehehe' alias tidak terdeteksi lagi levelnya. Barangkali, Saddam terlalu sering mend...