Mata dikerjapkan berkali-kali, menerima cahaya secara, dan mengumpulkan kesadaran sepenuhnya. Napas berat terembuskan ketika teringat betapa menyeramkannya cara-cara merenggut nyawa. Posisi yang kini terbaring di atas kasur, menandakan hal sebelumnya adalah bunga tidur yang buruk. Sontak, aku memandangi sekeliling yang bernuansa putih, tiang infus dan selimut putih.
Ini adalah kamar inap rumah sakit.
"Ah ... akhirnya bangun juga."
Terdengar suara yang berasal dari pria di mulut pintu ruangan dan mulai berjalan mendekat dengan ukiran senyuman. Meletakkan satu kresek buah pada meja nakas dekatku, lalu duduk di sebelah ranjang sembari mengibas rambut undercut-nya ke belakang. Aku ... tidak mengenalnya.
"Kata dokter, kamu kelelahan. Makanya pingsan di jalan," ucapnya sembari mengupas jeruk. "Lain kali, jangan terlalu maksain diri. Kalau capek, ya, istirahat. Nggak usah ngampus atau kerja, juga nggak masalah."
Membingungkan. Jelas-jelas dia membicarakan tentangku, tetapi aku tidak mengingat apa pun mengenai hal tersebut. Kuliah atau bekerja, tidak ada kenangan yang menempel di otak. Aku hanya tahu bahwa sebelum ini hilang kesadaran atau pingsan di jalan seperti perkataan pria ini.
Bahkan ... siapa aku?
Ketika disodorkan sepotong jeruk, dengan polosnya aku langsung terduduk dan melahapnya, karena merasa yakin jika dia adalah orang yang bisa kupercaya karena hubungan kami berkesan begitu dekat. Keceriaan yang tergambar di wajahnya, menampilkan keramahan dan membuatku nyaman meski harus merasa waspada pada orang asing.
Mulutku yang kosong mulai terbuka, hendak bertanya akan situasi yang sebenarnya. Namun, disela dengan muncul suara deringan ponsel dan pria ini mengeluarkan ponsel dari sakunya, lalu memberikannya padaku.
"Aku bawa ponsel ini, buat ngehubungi manajermu dan izin," katanya setelah aku menerima ponsel tersebut. "Ya ... kebetulan ponselku rusak. Makanya kupakai ponselmu aja."
Daya ponsel dihidupkan, menampilkan jam 18:00 dan tanggal 20 juli. Sebuah notifikasi tertera dan aku membukanya dalam bentuk pesan teks dari nomor yang tidak dikenal.
Inbox || [Unknown number]: Jangan beri tahu siapa-siapa perihal kehilangan ingatan.
Dahiku reflek mengerut, merasa heran pada pengirim pesan yang mengetaui hal itu sebelum kulontarkan.
"Siapa itu?"
Aku mendongak dan menggeleng padanya ketika memberi pertanyaan yang mungkin tidak harus dijawab dengan jujur. Mulutku pun reflek mengatakan, "Manajer."
"Tegang banget kelihatannya. Kamu mau pulang aja?" tanyanya yang mengetahui perasaan gelisahku.
TLING!
Bunyi notifikasi pesan, dan aku melihat bahwa pengirim yang sama seperti sebelumnya.
Inbox || [Unknown number]: Pulanglah, usahakan sendiri mengingat sekitaran. Jangan mendekam lama di rumah sakit, bisa jadi ingatanmu semakin terkikis sampai lupa segala-galanya.
Berpura-pura menghadapi kehidupan seperti biasa, demi mengingat segalanya. Ide yang buruk dan pasti akan sangat sulit. Namun, rasanya seperti ada sebuah dukungan di benakku untuk mematuhi pesan asing ini. Setelah membaca itu, pintu terbuka dan masuklah pria bertopi hitam yang memasang tampang jutek dalam memandangi seisi ruangan. Aku juga tidak pernah merasa sedikit pun mengenalnya.
"Kai, ambil ini." Sebuah kunci dilemparkannya dan ditangkap oleh pria di sebelahku. Kai, nama yang unik. "Gue cabut dulu."
"Hei, River! Jangan main pergi!" balas Kai tanpa digubris oleh pria bernama River tersebut. "Kayaknya, dia masih nggak terima kalau kita pacaran."
KAMU SEDANG MEMBACA
Deja Vu [ Ashley Lincate ]
Mystère / ThrillerAshley Lincate, wanita yang menghadapi hilangnya ingatan dan terjebak dalam siklus kematian melalui pembunuhan. Namun, dirinya berhasil bangkit ke realitas yang berbeda dari kehidupan sebelumnya. Entah itu dari segi pekerjaan, karakteristik, termasu...