Lembar Ketiga

27 2 0
                                    

6 sks berlalu begitu saja. Setelah berganti ruangan selama 2 kali, aku bernapas lega.

"Udah kayak disuruh nangkep maling aja, ngeluh terus," ujar Dowoon sambil membuka tasnya. "Satu matkul lagi, semangat dong".

Aku hanya mengangguk lemas. Huh, harusnya sekarang aku sedang bersantai di balkon rumah sambil menikmati secangkir teh. Terpaksa harus kutinggalkan karena kelas pengganti ini.

Matahari mengajakku bermain petak umpet. Ia bersembunyi di antara awan dan menungguku menatap langit, berharap aku mencarinya. Tapi sayang, hari ini aku harus fokus pada materi pelajaran. Tak bisa mencuri pandang dari balik jendela.

🌊🌊🌊

"Mau makan siang sama apa?" tanya Julian sambil menenteng tas kesayangannya.

"Gak tau," jawabku santai. Julian mengoceh, kenapa cewek kalo ditanya jawabnya gitu mulu. Aku fokus memilih lagu di hp alih-alih meladeni ucapannya.

"Cepetan, nanti kantinnya rame. Emang mau ngatre? Aku sih ogah."

Aku berdecak pelan, "Iya, iya~". Mendengar persetujuanku, Jul langsung tersenyum. Senyumnya lebar sekali, seperti habis menang lotre.

Kami berjalan beriringan, melewati kelas-kelas yang berjejer bagai susunan rak buku. Lobby masih ramai, beberapa mahasiswa asyik melihat info yang terpajang di mading ataupun menunggu pujaan hati untuk pulang bersama.

"Gak pulang bareng Juliet, Jul? Malah ngajak ngantin bareng" tanyaku sambil sesekali menatapnya. "Balik sama cowoknya," Julian menjawab malas.

"Gitu banget sama sodara sendiri." kekehku.

Ah, biar kuperkenalkan kepada kalian. Si kembar, Park Julian dan Park Juliet. Julian yang lahir 15 menit lebih awal ada di kelasku, sedangkan si adik ada di fakultas sebelah.

Jul, sahabatku yang lain. Perawakannya mumpuni, dengan kapasitas otak tinggi. Kapten basket dan calon CEO di perusahaan ayahnya. Hanya satu yang kurang, dia tidak jago dalam urusan percintaan.

Sedangkan si adik adalah teman SMA ku dulu. Paras yang rupawan dan kemampuan bicara yang hebat, membuatnya disenangi siapa saja. Juliet senang melukis dan berdansa, membuatnya seakan-akan seperti anak bangsawan.

"Bodoamat, perut aku udah konser. Buruan."

🌊🌊🌊

Sesampainya di kantin, Julian langsung memesan spaghetti kesukaannya. Mataku terpaku pada satu menu, tuna sandwich. Saat aku merogoh saku, Jul sudah membayar pesananku. Aku memutar bola mataku, kebiasaan.

"Nanti aku bayar," ucapku sambil membenarkan posisi kursi. Dia menggeleng, "Ajarin tugas aja ntar. Ada yang masih belum ngerti."

Aku mengangguk tanda setuju.

Agak lama kami menunggu, rupanya ada yang memesan 50 box nasi sebelum kami. Bosan melihat sekeliling, aku kembali fokus pada hp. Sedangkan Jul sedang asik menyapa fans nya.

"Berisik banget sih fansmu, Jul. Gak usah pake teriak juga kali," ujarku malas. Yang ditatap terkekeh.

"Namanya juga cewek. Sama aja kayak kamu kalo liat idol di bandara."

"Gak tuh." jawabku tak mau kalah. Julian yang agak kesal, mencubit hidungku pelan.

"Aw! Sakit tau!" sambil mengelus hidung, kupelototi dirinya.

Tak lama berselang, pesanan kami sampai. Jul segera menyantap, menikmati tiap suapan spaghetti favoritnya. Tak henti-henti ia berkata 'hmm' sambil mengetuk meja. Tanda bahwa makanan ini adalah yang terbaik sedunia. Aku hanya memandang jauh ke luar jendela. Matahari kian naik ke atas kepala.

Seseorang menatapku lamat, agak lama. Aku yang (lumayan) peka ini mengamati sekitar. Berharap netra kami bertemu dan aku menegurnya karena risih ditatap lama-lama. Nihil, seseorang itu tak kunjung kutemukan. Tapi saat aku berbalik...

"Boleh saya gabung di sini?"

Wonwoo?



To be continued.

Σειρῆνας (SIREN) | JEON WONWOOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang