Surat-surat tak pernah diterima, jarak yang membentang, dan seberkas cahaya senja yang rebah di cakrawala.
Bagi Bathara, hidup harus berjalan sebagaimana mestinya: meskipun kehilangan orang yang paling dicintai memang tak memiliki penawar. Ia menge...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Denah Keraton
4 Tahun Sebelumnya.
Bagi Bathara, hari selalu berjalan seperti ini: berangkat pada pagi-pagi buta, membelah padatnya Gejayan kemudian tersesat dalam kubangan rentetan kendaraan yang lain di Babarsari, mengunjungi bangunan tempat radio kampus mengudara, mulai menyiapkan playlist, mengisi ad-libs, dan menjalani harinya dengan setumpuk buku karangan Nietzsche yang tak selesai ia baca dan bahkan kesulitan ia pahami.
Dengan Nakula di kursi kemudi.
Sering kali orang di sampingnya itu hanya tertawa acak. Mungkin karena bagaimana mereka yang ada di mobil terselip oleh segerombolan anak-anak sekolah dasar yang berjalan kaki berangkat ke sekolah, ataupun karena satu-satunya cara agar tidak tercebur ke dalam selokan mataram adalah dengan tetap tertawa. Tapi, ada satu yang tidak Bathara tahu. Nakula bukan orang gila yang tertawa sembarangan. Ia mengamati Bathara dari ekor matanya. Bagaimana kedua pipinya menggembung ketika beberapa hal tak sejalan dengan apa yang ia inginkan. Mulai dari lagi-lagi terlambat untuk on-air meskipun ia sudah berangkat dari pukul tujuh, karena beberapa buku sastra yang menumpuk, menunggu untuk dikaji, atau bagaimana Simbok terus memaksanya menghabiskan sekepal roti srikaya .
Ia menyukai bagaimana Bathara kesal dengan hal-hal yang kecil, terkesan berlebihan, tetapi entah. Dirinya hanya menyukai orang itu terlalu dalam.
Tapi, Nakula, kenapa hal itu sukar diutarakan? Kenapa mulutmu seolah kelu untuk sekadar menyatakan rasa?
Kalkulus adalah hal sederhana, baginya, pun fisika mekanika dan struktur beton bertulang. Tapi mengapa hal-hal tentang Bathara adalah selalu tentang sesuatu yang sulit untuk dikatakan?
Setelah belokan pertama, melewati Tugu Teknik, Nakula memutar roda mobilnya menuju parkiran Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan. Mengambil tabung gambarnya yang menggantung di belakang, mengamati beberapa mahasiswa di selasar yang sibuk dengan desainnya masing-masing. Langkahnya membawanya ke laboratorium bahan bangunan. Mengambil balok-balok silinder beton yang telah ia olesi dengan belerang agar permukaanya rata.
"Hei, Nak? Kenapa? Bengong mulu lo."
"Nggak." Nakula hanya menggeleng seadanya ketika Hasan menghampirinya.
"Lo lagi compression test jangan sambil bengong. Salah-salah tangan lo yang remuk, bro." Nakula lagi-lagi hanya menanggapinya dengan sekilas, ia justru memilih sibuk dengan mesin compressor untuk pengujian kualitas beton yang ia buat. "Lo beneran lagi ada masalah? Kacau banget? Nggak biasanya, jujur."
"Lo mending diem, San," jawab Nakula skeptis.
"Masalah demo besok?" Hassan mengerling, "Nggak mungkin, sih. Masalah siapa? Pacar lo itu? Siapa namanya, Bathara? Anak FIB?"
Nakula masih memilih diam. Tapi ketika nama Bathara diucapkan ia tidak bisa untuk tidak menoleh. Hassan adalah bagian dari teman-temannya yang mengetahui bahwa dirinya menjalin hubungan dengan seseorang.