3. Di antara Dua Pilihan

73 8 0
                                    


"Alenia!" 

Sang pemilik nama menoleh ke belakang kala seseorang memanggilnya. "Kenapa?"

Rian, laki-laki itu duduk di depan kursi roda Alenia. Membiarkan dirinya mengambil napas dan beristirahat sejenak. "Gue sama keluarga mau ke rumah, lo. Kira-kira malam ini, boleh?" Pernyataan dan sebuah permintaan persetujuan dari Rian berhasil membuat Alenia diam dengan jantung yang memompa lebih cepat.

"Untuk apa?"

"Untuk lamar adek perempuan, lo," jawab Rian sedikit kesal. "Ya untuk lamar kamu, apalagi?"

Alenia diam beberapa detik. Jujur saja, sejak beberapa hari lalu ia tidak mengindahkan semua ucapan Rian. Sama sekali tidak berpikir laki-laki itu serius terhadap omongan dan janjinya. "Kamu serius?" 

"Dua rius malahan, Al."

"Jangan bohong, deh!" kesal Alenia. Baru saja ia akan memutar dua kursi roda di sininya untuk pergi, tangan Rian berhasil menghentikan pergerakan kursi roda perempuan itu. 

"Gue gak bohong, sumpah, Al. Gue mau nikah sama, lo. Gue salah?" Raut wajahnya begitu menyakinkan. Tidak ada kebohongan di matanya, Alenia tahu itu. Rian benar-benar tulus.

"Banyak yang sempurna, Rian. Kenapa harus aku? Kamu gak lihat? Kaki aku dua-duanya gak berfungsi!"

"Bodoh! Gue gak peduli soal kaki, lo! Intinya, gue mau sama, lo."

Baru saja akan berucap, Rian segera berdiri, menatap Alenia yang matanya tampak berkaca-kaca, bibirnya juga sedikit bergetar. "Tunggu gue malam ini," ujar Rian pelan. Tangannya mengusap lembut pucuk kepala Alenia lalu pergi menjauh.

....


Sejak siang, Alenia benar-benar berdiam diri di dalam kamar. Hanya melamun di depan jendela tanpa memikirkan beberapa tugas yang harus segera dikumpulkan. Dia benar-benar memikirkan tentang lamaran Rian yang akan tiba malam ini.

Pikirannya berjelajah menuju pada beberapa tahun lalu. Tidak pernah terbayangkan akan seperti ini akhirnya. Di mana ia justru dilamar lebih dulu oleh laki-laki lain yang tidak ia harapkan.

Alenia menunduk, memainkan jarinya di atas layar benda pipihnya. "Dek, tolong bantu Kakak keluar dari kamar," katanya pada seseorang yang terhubung dengannya melalui telepon.

Tidak lama menunggu, Mayra masuk ke dalam kamar. Membantu Alenia masuk ke dalam kamar orang tua mereka. 

"Bunda ...," panggil Alenia. "Bunda ada di dalam?"

Pintu perlahan terbuka, menciptakan decitan kecil. "Boleh Kakak bicara?" tanya Alenia pada Arka. 

Begitu Arka mengangguk mengiakan, Alenia menoleh ke belakang, tersenyum pada Mayra, "Makasih, Dek," katanya. Arka segera mengambil alih tugas putri bungsunya, mendorong kursi roda Alenia masuk ke dalam kamar lalu menutupnya.

Alhara yang berbaring di kasur dan masih menggunakan mukenahnya segera mendudukkan diri. "Kak? Ada apa?" tanyanya penuh perhatian. 

"Hm ... Bunda, Abi ... maaf sebelumnya karena ini terkesan tiba-tiba, tapi ...." Alenia gugup menatap wajah orang tuanya yang baru kali ini nampak begitu serius. Bahkan keringat dingin rasanya sudah memenuhi leher dan dahinya sekarang.

"Kenapa, Kak? Kamu ada masalah di kampus?"

"Bukan, Bi."

"Lalu? Kamu mau minta liburan? volunteer?" Alenia menggeleng sebagai jawaban.

"Ya terus, apa dong?"

Alenia menunduk, memilin jemarinya sendiri, "Alenia mau dilamar," cicitnya hampir tidak terdengar. 

"Kenapa?" kompak Alhara dan Arka bersamaan. Badan keduanya bahkan sudah dicondongkan agar lebih mudah mendengar ucapan sang putri. Lucu sekali.

"Aku ... mau dilamar."

"SIAPA?" Alenia refleks menutup dua matanya karena terkejut. Ia mendongak, menatap manik mata kedua manusia di depannya. 

"Riandi Nicholas, anak dosen di kampus. Pak Trigiant. Abi pasti tahu."

"Kapan, Kak?" 

"Katanya, malam ini dia sama keluarganya mau datang ke sini. Maaf, karena baru kasi tahu. Soalnya dia baru bilang pagi tadi." 

Alhara diam seribu bahasa, sedangkan Arka mulai memijat dahinya tidak habis pikir. Ada banyak sekali yang harus dipertimbangkan sebelum menyetujui lamaran dari laki-laki untuk Alenia. Perlu banyak sekali waktu. "Kak, jawab jujur. Kamu punya perasaan untuk orang itu?"

Alhara seketika menoleh, wajahnya terlihat tidak bersahabat, "Aku juga nikah sama kamu gak ada rasa loh!" katanya.

"Bukan itu! Jalan kita berbeda sama anak-anak kita. Tidak ada perjodohan di dalamnya, dan tidak akan pernah ada. Bagaimana pun, Alenia masih sangat muda. Kamu pasti tahu bagaimana rasanya menikah lebih cepat sedangkan pikiran kita belum sama-sama dewasa."

"Ya tapi, kan—"

"—Bunda! Abi! Kenapa jadi berantem, sih?"

"La, kamu diam dulu, aku mau bicara sama anak aku," perintah Arka. "Kak, kamu ada perasaan sama dia?" Alenia dengan jujur menggeleng kecil. Tapi mata perempuan itu terlihat teduh. 

"Apa kamu punya orang lain di hati kamu?" Alenia mengangguk. Aneh rasanya menyatakan kejujuran apa lagi perihal perasaan pada orang tua.

"Kak, kamu tahu, kan? Pernikahan di usia muda adalah awal kehancuran anak jika orang tua tidak siap? Abi tahu kamu pasti belajar parenting di bidang kamu."

"Jangan paksa apapun, Kak. Kamu suka, terima. Kalau tidak, tolak baik-baik."

Hati dan pikiran Alenia sedang berisik sekarang. Hatinya ingin menunggu seseorang. Tapi pikirannya tertuju pada ucapan teman-temannya. Sekelebat angan-angan tiba-tiba saja menghiasi imajinasinya.

Jika kelak ia menikah dan memilih Riandi sebagai pasangannya, Alenia sudah dijamin akan dijadikan ratu. Sebab, laki-laki itu sangat jatuh cinta padanya. Sungguh, akan lebih baik ia dicintai oleh pasangannya dari pada Alenia yang jatuh cinta sendirian pada cinta yang tidak ada kepastian sejak sepuluh tahun lalu.

"Kalau pendapat Bunda sama Abi gimana?"

"Kalau Abi, jangan dulu, kalau mau menerima silahkan, tapi untuk menikah, Abi belum mengizinkan. Kamu punya cita-cita, gapai dulu impian kamu baru bisa menyenangkan orang lain."

"Jangan korbankan perasaan, Kak, perjuangkan dulu laki-laki yang ada di hati kamu lewat jalan yang benar. Kalau tidak bisa, maka lanjutkan apapun yang kamu mau lakukan."

"Sudah dapat jawaban?"

"Sudah, Abi. Alenia perlu bicara sama Bang Bian sama Bang Refan, mereka juga berhak kasi aku masukan."

.....

AleniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang