SEIRING berjalannya waktu, aku melaksanakan segalanya semakin lancar. Meski ada beberapa kesalahan, tetapi aku yakin bisa bekerja lebih baik untuk esok hari. Pukul 15:00 menjadi waktu pulang dan aku berganti seragam dengan mengikuti Sherly. Setelah usai, muncul beberapa orang yang masuk melalui pintu belakang dan mungkin sebagai pekerja sift selanjutnya.
"Kok lo nggak bilang-bilang, sih, kalau sift pagi?" Wanita berambut pendek langsung menoyor Sherly yang hendak pergi ke luar.
"Ah, Rosa. Sakit, tau?" Sherly menepis tangan wanita yang bernama bunga tersebut. "Ashley juga, tuh."
Kakiku melangkah mundur karena tidak mau menerima pukulan kecil ke kepala. Sepertinya, kami semua akrab sekali sampai butuh konfirmasi dalam terpisahnya kerja sift.
"Kok kamu juga nggak bilang-bilang?" Kai ikut bertanya padaku setelah mengambil seragam di lokernya.
"Gue yang nyaranin," celetuk River sembari memegang gagang pintu toilet. "Kelas Sherly sama Ashley full nggak ada dosennya."
Kai meletakkan kembali bajunya. "Kalau gitu, biar aku antar pulang."
Aku tidak menolak kebaikannya, meski begitu merepotkannya. Pada akhirnya, kami pun pergi dari kafe dan setelah keluar dari gang kecil sebagai jalur khusus karyawan, Kai mulai menggandeng tanganku.
"Bukannya hari ini anniversary kita, ya? Kamu nggak lupa, 'kan?"
Sesudah dilemparkan pertanyaan olehnya, buru-buru aku menggeleng dan tersenyum. "Enggak, aku nggak lupa."
Berdusta adalah solusi dari menutupi segalanya. Namun, dia justru tidak melanjutkan topik pembicaraan dan membuatku tambah merasa canggung.
Secara tiba tiba, rasa sakit menjalar ke kepala, sehingga membuat dunia seolah-olah berputar dari pandanganku. Sama halnya seperti tadi, semuanya menjadi tidak berwarna dan tampak buram. Anehnya, meskipun terlihat pudar, aku sangat tahu jika sekitaran berubah menjadi area kampus.
Di dalam kebingungan hebat, tangan yang berawal tergenggam erat, kini tersentak secara kasar dan menghasilkan rasa terkejut. Kepalaku mendongak, sehingga melihat Kai yang menampakkan wajah berang dan langsung berpaling untuk melangkah pergi. Tidak tahu apa alasannya dalam bersikap kasar, aku pun mencoba menyusulnya dengan langkah cepat.
TIN! TIN! TIN!
Suara klakson mobil memecahkan segalanya. Aku nyaris menjerit dan terjerembab di saat adanya tangan menarikku begitu kuat. Napas menjadi tidak beraturan. Sesudah mengerjapkan mata berkali-kali, aku tersadar bahwa hampir saja tertabrak akibat menyeberangi jalan raya yang tengah ramai. Aku refleks menoleh ke belakang dalam keadaan terduduk. Akan tetapi, keberadaan penolong tersebut sudah tiada lagi.
"Ashley!" Kai menghampiriku dari belakang dengan panik. Kedua tangannya memegangi pipiku dan mengatakan, "Kenapa kamu lari?"
Kebingungan yang berat. Bukankah tadinya aku berlari secara fana dan bukan di dalam realita? Semuanya benar-benar di luar nalar. Jelas-jelas segalanya kulakukan dalam kesadaran penuh.
Orang-orang di sekitar memandangi kami dan aku mulai merasa malu. Sedangkan Kai langsung menarik tanganku untuk melanjutkan perjalanan tanpa sepatah kata pun. Dahinya terus saja berkerut-kerut. Ketika kamo tiba pada apartemen, dia pun ikut masuk bersamaku lalu duduk di sofa. Dia bersandar dan mendongakkan kepalanya, seperti sedang berpikir keras. Sikapnya yang seperti itu, membuatku menambah beban pikiran.
"Kamu nggak pergi ke bar?" tanyaku sembari duduk di sebelahnya.
Embusan napas berat dan mulai duduk dengan tegap, Kai menatapku begitu pasi, lalu memegangi pipiku sebentar. "Mau ke dokter?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Deja Vu [ Ashley Lincate ]
Misteri / ThrillerAshley Lincate, wanita yang menghadapi hilangnya ingatan dan terjebak dalam siklus kematian melalui pembunuhan. Namun, dirinya berhasil bangkit ke realitas yang berbeda dari kehidupan sebelumnya. Entah itu dari segi pekerjaan, karakteristik, termasu...