05 || Kematian

53 10 0
                                    

SUARA-SUARA bergema mengganggu ketenangan. Sejenak saja, aku ingin keheningan hadir. Namun, kelopak mata terbuka perlahan dan menerima cahaya, hingga akhirnya memandangi dinding putih yang bersih.

Terlihat Kai yang terduduk di sofa dekatku. Kedua tangan menyatu dengan tumpuan di atas paha, sedangkan kepalanya menunduk begitu lama. Ada Rosa dan Sherly ikut hadir dengan berdiri di dekat pintu. Terdapat beberapa orang di bagian luar yang terlihat dari kaca pintu. Melirik ke diri sendiri, banyaknya kain kasa dan alat penyangga di kakiku. Aku mencoba memegang pelipis dengan tangan yang lain dan terdapat perban yang melingkar di kepala.

Aku terselamatkan. Terbangun tanpa menghadapi mimpi buruk dan perasaan lega menghampiri.

"Ashley!" Kai menderap dan memandangiku dengan khawatir. "Sorry ... sorry banget," gumamnya sembari duduk di dekat ranjang dan membenamkan wajah pada ranjang.

Reaksinya benar-benar menunjukkan rasa bersalah. Tidak tahu apa penyebabnya mengatakan hal tersebut. Mungkin, karena telat menolongku. Entahlah.

"Makan dulu, yuk." Sebuah nampan besi di bawa oleh Sherly dengan ekspresi cemas dan menghapus keceriaannya. Kursi diletakkan pada seberang Kai dan duduk. "Ada rasa nyeri, nggak?"

Kepala ini menggeleng. Tubuhku terduduk dengan ranjang yang diangkat setelah Sherly menekan suatu tombol, lalu memberikanku sesuap bubur.

"Sorry, ya, Ley. Kita lalai kalau kamu hilang," ucapnya setelah bubur memberikan beberapa suapan. "Kalau bukan karena bapak-bapak pencari kayu bakar, mungkin siang tadi kamu masih belum ketemu."

Bersyukur, setidaknya aku diselamatkan meski begitu telat.

"Kamu ingat aku, 'kan?" tanya Kai sembari memegangi tanganku dan menatap lekat-lekat. "Coba sebut namaku."

"Kai," kataku begitu lirih sebelum Sherly memberikanku air dengan sedotan. Wajah pria itu mulai menyeringai, menampakkan kelegaan. "Apa orang itu udah ditangkap?"

Pertanyaanku membuat Sherly tertegun dan menatap Kai yang mengerutkan dahi. Rupanya, tidak ada yang mengetahui orang jahat itu kabur setelah membuatku celaka.

"Pasti tertangkap." Dengan penuh keyakinan, Kai memberikan senyum untuk membuatku lega. "Di depan sana ada polisi. Nanti kamu cerita semuanya ke beliau."

Semoga saja orang itu cepat tertangkap dan tidak menambah korban. Baru teringat mengenai jaket abu-abu, teman Vin tentunya mengetahui orang tersebut karena sempat bertanya padaku.

"Teman Vin, dia tahu," gumamku dan Sherly yang memegang nampan kosong menjadi bangkit, lalu pergi ke luar. Aku menoleh ke arah Kai dan melanjutkan, "Dia ... berjaket abu-abu dan ngikutin kita saat itu."

"Teman-teman Vin ada tiga; Zeha, DJ, dan Yuri. Yang mana?"

"Aku nggak tahu," balasku dalam mengernyit akibat ketidaktahuan.

"Sorry, aku lupa sama kondisi ingatanmu." Tangan Kai mengelus pipiku. "Mungkin, besok atau lusa kamu keluar dari rumah sakit. Sabar, sebentar aja kok. Selebihnya, kamu aku dirawat di apartemen."

Dia tahu sekali bahwa aku enggan menempati rumah sakit, walaupun tidak tahu alasan di balik itu. Begitu perhatian dan rupanya dahulu aku tidak salah menjalin hubungan dengannya. Tidak apa meskipun aku hanya setitik kebahagiaan di antara ketegangan hidup.

Selang beberapa menit, seorang polisi masuk dan Kai beranjak  ke luar. Dengan ramah, aku dimintai beberapa keterangan. Semua yang terjadi langsung kuceritakan tanpa mengurangi atau menambah detail. Setelah mencatat segalanya begitu lama, beliau berpamitan dan pergi dengan memberi pesan bahwa penyelidikan akan berlanjut sampai tuntas. Ini bukan masalah kecil jika pihak keamanan sudah turun tangan.

Deja Vu [ Ashley Lincate ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang