Di kali ke sepuluh aku menekan bel, seorang gadis terlihat mengintip dari celah kecil pintu yang baru saja terbuka. Aku memiringkan kepalaku ke arahnya dan menyapa, "Hai!" Saat itu juga, pintu tertutup dengan keras.
Aku terlonjak di tempatku. Seingatku, dia tidak sekasar ini. Aku kembali mengetuk pintu sambil berkata, "Hey, Nad. Ini aku, Abu. Buka pintunya, dong." Aku kembali mengetuk, namun pintu tidak kunjung terbuka.
"Nad … Masa kamu gak kangen aku?" ucapku dengan jenaka. Sekali itu, terdengar suara jendela yang dibanting tertutup di bagian samping rumah, diikuti suara Nadi yang menyentak, "Berisik!" Aku membuang napas dengan berat.
Karena kelihatannya tidak ada tanda-tanda Nadi akan keluar dan bicara padaku, aku duduk di kursi pada halaman rumah.
Kutarik napasku dalam-dalam. Udara di desa jelas sekali berbeda dengan di kota. Hanya menghirup udaranya pun jiwaku terasa segar kembali.
Akalku memikirkan beragam cara untuk berbicara pada Nadi. Aku tahu dia marah dan kecewa padaku. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa soal itu.
Di tengah keheningan, terdengar suara gemerisik daun yang diinjak dari depan rumah, aku menoleh. Seorang anak laki-laki melihatku dengan kebingungan kentara di wajahnya. Aku tersenyum.
Wah, dia sudah besar.
"Hai, Vena." Aku melambaikan tangan dengan senyum seramah mungkin di wajahku. Kebingungan di wajahnya berubah jadi rasa takut. Lebih seperti: kok dia bisa tahu namaku…
Atau mungkin, dia hanya ketakutan melihat wajah ramahku ini. Banyak orang yang bilang wajahku semenyeramkan anjing galak, ditambah badanku yang tinggi besar, seperti gorila. Jujur, menurutku aku lebih imut dari itu. Sekedar info, aku seorang pria tulen.
Tepat sebelum anak itu memecahkan tangisnya, pintu rumah terbuka. Nadi—gadis galak yang mengusirku tadi—keluar membawa kantong berisi tempat bekal. Ia berjalan melewatiku seakan-akan aku tak pernah ada dan mendekati si anak laki-laki yang langsung bertanya, "Itu siapa, Kak?" Jari kecilnya menujukku. Tubuhnya bergeser dan ciut di samping kakaknya.
"Polisi kepo," jawabnya jutek. Aku telah menyiapkan senyum jenaka dan celetukan menyebalkan dari mulutku, tapi kutahan. Pikirku, aku tidak boleh membuatnya lebih kesal dari ini. Kesalahanku sudah banyak, jangan ditambah-tambah lagi.
Dengan sabar, aku menunggu kedua adik kakak itu mengobrol. Nadi berjongkok di depan adiknya dan memberikan kantong yang ia bawa. "Tolong kasih ke ayah, ya. Kakak mau beresin urusan sama om-om itu." Ia mengedik ke arahku. Aku hanya tersenyum tipis ketika adiknya takut-takut melihatku.
"Kakak gak papa sendirian?" Bisikan adiknya hampir saja tidak terdengar olehku.
Nadi mengangguk. Dengan ragu nan ketakutan, si adik melangkah keluar seperti sedang kebelet pipis.
Nadi membalikkan badannya dan menatapku galak. "Pergi sana. Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi." Ia berjalan melewatiku.
Aku menahan lengannya. "Nad, aku minta maaf buat waktu itu. Kuakui aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku hanya memikirkan untuk lari dari masalah. Aku tidak memikirkanmu."
Ia menghempaskan genggamanku.
Hening di antara kami berdua. Hanya ada suara gemerisik daun yang ditiup angin dan bunyi serangga-serangga kecil di hutan perbatasan.Raut wajah Nadi tak dapat kulihat, kuharap dia tidak terlalu marah ataupun sedih.
"Sudah terlambat. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan." Dengan lembut, Nadi melepaskan peganganku terhadapnya. "Jadilah polisi yang baik. Lupakan yang lalu." Nadi melangkah cepat ke dalam rumah. Dan sekali lagi, pintu itu tertutup di depanku.
![](https://img.wattpad.com/cover/343063109-288-k873879.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Where We See The Stars ✔️
Mystery / ThrillerDi tempat yang indah, biasanya tercipta kenangan yang indah pula, 'kan?