Better To Die

188 18 5
                                    

Jeritan kesakitan orang yang kusayang membuat jantungku berhenti untuk sejenak. Pisau- pisau menancap di rongga dada mereka. Ibu, Ayah, dan pacarku baru saja mati. Hanya adikkulah yang masih ada, hanya untuk membuatku tunduk pada mereka.

"IBU! AYAH! LEONA!" jeritku, "APA YANG KALIAN LAKUKAN PADA MEREKA, HAH?"

Salah satu dari mereka menjawab, yang kurasa pemimpin kelompok ini. "Yang kami lakukan hanya untuk membuatmu bekerja sama."

Aku merangsek ke depan, berusaha melukai siapapun yang ikut ambil bagian dalam kematian keluargaku. Apa yang aku lakukan ini sia- sia. Sebelum pukulanku menghantam hidung si pemimpin, aku sudah ditarik mundur oleh anak buahnya.

"ARGHH, LEPASKAN AKU!" teriakku, "KENAPA KALIAN MEMBUNUH MEREKA?"

Si pemimpin tertawa, membuat hasrat membunuhku semakin tinggi. "Daniel, Daniel, ini karena kau tidak menuruti apa yang kami minta. Kau mau adik kecilmu tersayang selamat?" lalu dia memberi isyarat ke anak buahnya untuk menodongkan pistol ke kepala Jane.

"Ayo," desaknya, "pilihan di tanganmu. Kau bahan percobaan kami, aset kami."

Aku pasrah, mengangguk. "Aku akan menjadi binatang peliharaan kalian yang baik. Tapi tolong jaga adikku." Penjaga yang menahanku kini mengeratkan pegangannya, mengunci tanganku
sampai menyentuh punggung.

Aku meraba punggungku, pisauku masih di sana. Aku bisa menyusun rencana nanti.

"Baiklah," katanya, "karena harta karun kita sudah setuju, bawa gadis kecil itu ke ruang 206."

Beberapa dari anak buahnya membawa- lebih tepatnya menyeret- Jane keluar ruangan yang kami tempati.

"Kau juga," dia menunjukku, "kau harus ke sana."

Pintu besi bergeser terbuka, lalu melemparku ke dalam sana.

-----
-----

Aku ada di gedung perkantoran. Ada pisau tergeletak di meja di depanku, aku memungutnya. Banyak orang yang seperti aku, dijadikan bahan percobaan.

Suara bergema terdengar. "Silahkan membunuh jika tidak ingin terbunuh."

Sebelum yang lain tersadar, aku menikam seseorang yang berposisi paling dekat denganku. Darahnya muncrat ke wajahku. Orang itu langsung jatuh tersungkur.

Aku tertawa. Aku rasa aku mulai gila. Rasa senang menyelimutiku. Membunuh satu orang membuatku senang. Aku mau lagi!

Ruangan ini mulai ramai, ada yang menebas kepala si korban, ada yang menusuk dari belakang, dan lain- lain. Aku menusuk rongga dada orang yang mencoba menebas kepalaku.

Darahnya menyembur, menyiramku dengan cairan merah hangat. Aku menusuk jantungnya, lalu memutar pisau yang masih menancap di sana. Menghasilkan lubang menganga yang membuatku bisa melihat apa yang ada di sana.

Oh, aku ingin melihat organ apa yang ada di dalam tubuh manusia. Sayang, gadis berambut hitam legam ini menghalangiku.

Dia menantangku, menerjangku dengan pisau diacungkan. Aku menahan tangannya, membelokan laju pisaunya ke arah perutnya sendiri. Kudengar dia mengerang, kaus biru langitnya mulai memerah.

Dia belum mati, masih menahan sakit. Daripada tersiksa, lebih baik kuakhiri saja. Aku memotong kepalanya dengan mudah. Untung saja pisaunya tajam.

Awalnya ada sekitar dua puluhan orang. Aku membunuh separuhnya. Masih ada dua pemuda dan seorang gadis. Aku akan membunuh mereka semua. Membunuh itu mudah, anggap saja mereka hanya tikus.

Aku mendekati salah satu pemuda yang wajahnya masih pucat. Dia masih gelagapan memegang pisaunya, dan dia lambat. Aku heran kenapa tadi dia bisa membunuh. Aku menusuk lehernya, pisauku sampai menembus di belakang lehernya.

Better To DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang