Doyoung mengerjapkan mata berulang kali, berusaha membiasakan diri dengan cahaya matahari yang menusuk sebelum akhirnya tersadar bahwa ia terbangun bukan di kamar miliknya.
Seketika ia terduduk di kasur yang terasa empuk, memeriksa pakaian yang untungnya masih lengkap, dan keadaan sekitar yang terasa asing. Ah ini rumah Junghwan, pikirnya setelah kesadarannya terkumpul sempurna.
Tapi Doyoung tidak menemukan sosok pemilik rumah di sana. Ia meregangkan tubuh sebelum bangkit dari tempatnya, memakai sandal tipis yang seolah telah disediakan tepat ketika kakinya mendarat di lantai.
Dengan ragu Doyoung membuka pintu, dan ia tersenyum ketika melihat Junghwan tertidur di atas sofa ruang tamu.
Doyoung tidak ingat kapan ia bangun dari tidurnya tadi malam, dan dirinya menyimpulkan bahwa Junghwan lah yang membawanya masuk ke kediaman mereka tanpa membuat Doyoung terjaga.
Matanya melirik ke arah jam yang ada di sisi lain ruangan, masih terlalu pagi untuk beraktivitas maka dari itu ia memutuskan untuk berjalan menuju dapur.
Kulkas Junghwan terisi cukup banyak bahan makanan, Doyoung hanya meraih beberapa lembar roti dan buah yang ada di sana, ini pertama kalinya bagi Doyoung untuk menyiapkan sarapan sendiri, dan membuat toast jelas bukan pekerjaan yang sulit dilakukan.
Sekuat tenaga Doyoung berusaha mengeluarkan suara seminim mungkin, Junghwan pasti lelah karena mengemudi semalaman dan ia tidak ingin mengganggu tidur suaminya.
Saat memotong buah yang ada di atas meja, fokus Doyoung teralihkan pada cincin yang melingkar indah di jari manisnya, seketika perasaan berat kembali datang memenuhi dadanya.
Semuanya terjadi begitu saja, ia yang tanpa berpikir panjang berkata iya saat Junghwan melamarnya, persiapan pernikahan yang benar-benar seadanya, dirinya yang pasrah ketika Junghwan membawanya jauh dari rumah.
Ibu, alasan yang membuat Doyoung melakukan semuanya.
Doyoung menghela napas berat ketika memikirkan Ibunya, apa Ibunya baik-baik saja di sana? Bagaimana kalau sakitnya datang secara tiba-tiba? Bukankah Ibu masih belum terbiasa menggunakan ponsel yang Doyoung berikan secara paksa?
Lagi-lagi hembusan napas berat keluar dari mulutnya, berusaha melepas beban yang terasa menusuk di dadanya bersamaan dengan udara yang ia hela.
Dan tanpa Doyoung sadari, Junghwan terus menatapnya sejak tadi. Menimbang dalam hati haruskah ia bergerak mendekat untuk memberi kalimat penenang, atau justru diam di tempat karena takut pisau buah yang ada di tangan Doyoung justru mendarat di tubuhnya.
Dan Junghwan memilih opsi pertama.
"Pagi." Ucap Junghwan, suara serak suaminya menarik Doyoung ke permukaan karena tenggelam dengan banyak hal di kepalanya.
Doyoung menoleh ke sumber suara, memandang Junghwan dengan mata sembab karena terlalu banyak menangis semalam.
"Pagi." Balasnya pelan.
Sebenarnya Doyoung tidak terlalu menyesali keputusan impulsifnya untuk menikahi Junghwan, karena ayolah ini Junghwan, So Junghwan yang terus memenuhi kepala serta hatinya selama hampir seumur hidup. Tapi ketika ia mengingat hal yang terjadi di penghujung masa sekolahnya dulu, kebencian mendadak menguasai tubuhnya.
"Aku mulai kerja hari ini, kamu gapapa di rumah sendirian?" Tanya Junghwan.
"Langsung kerja? Katanya cuti satu minggu? Bukannya baru enam hari?" Balas Doyoung setelah menghitung dalam hati.
"Cuma sebentar, beresin beberapa berkas, nanti siang juga udah pulang." Jelas Junghwan, tangannya bergerak meraih roti yang baru keluar dari panggangan, mengoles mentega ke salah satu sisinya lalu meletakkan alpukat yang baru Doyoung potong ke atasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buttercup [Hwanbby]✔
FanfictionBegitu banyak ingatan masa kecil yang terlintas di pikiran Junghwan begitu melihat Kim Doyoung, sahabatnya yang memilih untuk menetap di kampung halaman bahkan hingga umurnya sudah jauh dari kata remaja. Tapi hanya satu yang benar-benar tergambar je...