Dalam bangku sempit, duduk berhimpit dengan seorang ibu bertubuh tambun dalam bus sesak. Bau pengharum jeruk dan pengapnya panas siang itu membuat perut Mira mual.
Ia dalam perjalanan pulang ke kampung. Sambil melihat ke luar, memeriksa sudah sejauh mana ia pergi, kemudian di dalam genggamannya ia mengetikkan pesan pada orang tuanya bahwa ia sebentar lagi sampai.
Mira memutuskan untuk melepaskan semuanya. Membiarkan ia kehilangan banyak hal, karena mungkin itu yang terbaik.
Si supir mulai memasuki area terminal, saat kendaraan itu berhenti satu-persatu penumpang berdiri bersiap keluar. Begitu juga dengan Mira.
Mengingat-ingat barang-barang bawaannya, ia mengmbil benda-benda itu dalam bagasi bus.
Semuanya aman, koper ia seret melintasi koridor mencari-cari keluarganya yang telah menunggu.
Begitu melihat tiga orang sosok yang ia kenali, ia menangis terharu lantas berlari dan segera memeluknya.
"Akhirnya kamu pulang, Nak. Kami kangen berat." Wanita paruh baya dengan jilbab cokelat tidak hentinya mengucapkan syukur kepada Tuhan bahwa putrinya telah sampai dengan selamat.
"Mira juga kangen ibu, bapak, adek." Mira mengusap air matanya yang tahu-tahu sudah meleleh sejak tadi. Sekali lagi ia peluk satu persatu keluarganya.
Mereka pulang dengan mobil pickup milik ayahnya, pickup tua yang sudah menemani mereka sejak bertahun-tahun lamanya.
Bapak sigap mengambil barang Mira, mereka pulang dengan perasaan yang bahagia dan haru.
***
"Barang kamu banyak sekali, Mir." Ibunya menaruh es sirup di atas meja lengkap dengan roti. "Ayo diminum dulu, pasti kamu sudah capek sekali setelah perjalanan panjang."
Mira mengangguk, ia menegak dinginnya es. Kepalanya yang pening karena cuaca panas kini sedikit lebih baik.
"Kamu bawa apa aja sebanyak ini?" Kali ini pertanyaan itu berasal dari sang bapak. Pertanyaan yang sama, sama sulitnya untuk Mira menjawab.
"Mira mau menetap di sini aja, Pak, Bu. Mira sudah resign dari kerjaan Mira."
"Astaghfirullah, kenapa nak? Kamu ada masalah apa di sana?" Ibunya begitu syok, pasalnya sudah tiga tahun, tetapi selama itu Mira tidak pernah mengeluhkan apa-apa.
Vera, adiknya Mira, ikutan terkejut. Ia yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya tiba-tiba saja kini ikut menyimak perbincangan.
"Mira enggak apa-apa, Mira hanya enggak kuat jauh-jauh dari kalian." Hanya jawaban itu yang Mira berikan sebelum pamit ke kamar untuk istirahat.
Ia masuk ke dalam kamar yang sudah empat tahun ia tinggalkan, tetapi masih bersih terurus. Merebahkan tubuhnya yang benar-benar capek. Ia lalu meraba perutnya, masih sama seperti sebelumnya. Hanya saja kini kehidupan itu tidak ada lagi di sana.
Ia keguguran.
***
"Itu jawaban pertanyaan kamu hari itu. Anak yang aku kandung bukan anakmu. Kamu tidak harus bertanggung jawab untuknya."
Kalimat itu mengakhiri kisahnya.
Pram pergi meninggalkan Mira saat itu, pergi dan tidak kembali lagi sampai ia pulang dari rumah sakit. Jadi ia simpulkan bahwa Pram marah padanya dan tidak mau melihatnya lagi.
Mira menerima semua itu. Memang konsekuensinya.
Sebelum keluar dari rumah sakit, ia baru tahu ternyata saat itu ia keguguran. Janin mungil itu telah pergi untuk selamanya. Alasan dirinya tidak sadarkan diri hari itu juga karena pasca pengerukan si janin.
Tidak heran Mira menemukan Jonathan kembali, pria itu mengatakan sekali saja Mira memberikan ia kesempatan untuk membantu. Lagi-lagi sekali lagi, Mira terlalu capek untuk menghindar, akhirnya pasrah.
"Aku dan Alana akan bercerai."
Penjelasan Jonathan mengagetkan Mira, ia kira hubungan mereka masih bisa diperbaiki ternyata tak tertolong lagi.
"Tetapi aku juga tidak memaksa dirimu kembali padamu."
Benar saja, usai mengantar Mira ke kontrakan. Jo juga tidak muncul-muncul lagi di hidup Mira. Semuanya sudah selesai.
Ia melepas Jonathan dan Pram. Karena ia sekantor dengn Pram, Mira pikir ia tidak akan kuat berada dalam lingkungan yang sama dengn pria yang ia sakiti itu. Akhirnya ia memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaan.
Ia pergi dengan berbagai gosip buruk tentang dirinya yang menyebar bagaikan virus di kantor. Tapi ia sudah tidak perduli.
Sudahlah... Ia sudah akhiri.
Dalam tidurnya, Mira menangisi lagi hidupnya.
***
"Keluar kamu wanita murahan!!"
Seorang ibu-ibu sudah berteriak di depan rumah Mira pagi-pagi sekali. Bahkan matahari masih belum sepenuhnya bangun.
Mendengar keributan di luar, Ibu Mira pertama sekali keluar di susul dengan suaminya.
"Ada apa, Bu? Kenapa pagi-pagi teriak?"
Si ibu tadi kembali menyalak dengn mata melotot sambil menunjuk wajah ibu Mira. "Anakmu itu telah menghancurkan rumah tangga ank saya! Kau tahu! Anakmu itu pelacur. Lonte!!!"
"Astaghfirullah, apa yang ibu maksud?" Ibu Mira menatap suaminya, saling menggeleng tidak mengerti.
Bapak Mira yang tidak mau membuat keributan meminta Ibu-ibu tadi masuk untuk membicarakannya dengan baik-baik.
"Jijik aku masuk ke rumah wanita murahan, kalian sekeluarga sama menjijikkan nya!"
"Bu Rahmi, tenang dulu. Saya bahkan tidak tahu maksud ibu dari tadi."
Bu Rahmi tetap marah-marah, memaki Mira berkali-kali, menyumpah serapah.
"Mira anakmu itu telah menggoda ank saya, sekarang anak saya dan istrinya akan bercerai. Itu karena si pelacur itu!"
"BU RAHMI!" Bapak Mira tidak terima wanita itu mengatai anaknya. "Anda jangan asal bicara ya. Pagi sudah buat ribut kini menuduh putri saya sembarangan."
Bu Rahmi berdecak, "Tanya anakmu, sana. Lihat dia pulang karena belangnya sudah ketahuan di sana."
"Diam kamu, Bu. Sudah sana pergi, kamu datang ke rumah buat rusuh. Menuduh aneh-aneh."
Melihat perlawanan Bapak Mira, Bu Rahmi akhirnya pulang.
***
Pintu kamar Mira dibuka dengan kasar, Ibu masuk menemukan Mira menangis terduduk di lantai. Mira mendengar segalanya, dan kini bahkan sekedar melihat wajah ibunya saja ia tidak berani.
"Katakan yang tadi itu semua hanya fitnah, kan, nak?"
Mira semakin sesenggukan. Air matanya tidak berhenti mengalir. Mira menunduk dalam. Seperti mendapatkan jawaban, ibu Mira berteriak histeris.
"Ya, Allah... Nak! Apa yang kamu lakukan di perantauan sana, kamu jadi pelakor? Ibu nggak pernah mengajari kamu jadi wanita semurahan itu." Ibu menggunjang tubuh Mira yang masih setia menatap lantai.
Ia lalu memukul tubuh itu sambil menyebutkan kemarahan. "Kenapa kamu melakukan itu, nak? Kenapa? Astaghfirullah. Ibu membesarkan seorang anak jahanam."
Mendengar ibunya sekarang menangis, Mira berlutut dan meminta maaf. "Maaf, Bu. Maafkan Mira..."
"Kamu membuang kotoran ke wajah ibu, nak. Kamu memalukan. Ibu tidak punya anak seperti kamu." Ibunya lalu pergi.
Barulah Mira bisa berani mendongak, melihat kepergian punggung ibunya, di pintu ayahnya sedari tadi duduk memperhatikan. Wajah pria tua itu menampilkan tatapan kecewa yang teramat dalam.
***
Vote dan komentar tolong tinggalkan yawww!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan selingkuhan [TAMAT]
RomansaAmira sadar mencintai pria yang mempunyai istri itu adalah salah. Apalagi dilakukan diam-diam, dan bahkan sudah berhubungan intim dengannya. Namun, ia sudah terlanjur mencintai Jonathan begitu dalam, ia telah tenggelam dalam lautan rasa cinta. Lalu...