Song for this chapter:
Miss A - Bad Girl, Good Girl🌸🌸🌸
Terkadang memiliki mata yang jeli bukan hal yang baik. Aku sadar itu setelah bersusah payah masuk ke kantor melewati lobi dan konter resepsionis, berjalan dengan postur sesantai mungkin berharap tidak ada yang memperhatikan satu hal yang mati-matian aku sembunyikan. Pakaianku yang masih sama dengan yang aku kenakan hari sebelumnya. Meski sudah aku samarkan dengan mengubah gaya rambutku yang kuikat dengan scarf dan mengganti sepatu Converse kuning andalanku dengan flat shoes warna merah marun yang untungnya selalu kusimpan sebagai sepatu cadangan di mobilku, tetap saja aku nggak bisa mengelabui mata seseorang.
"Keliatannya ada yang abis party semalam suntuk dan nggak pulang ke rumah nih," komentar Ika, karyawan resepsionis Belle Ame.
Seketika langkahku terhenti tepat di depan konter resepsionis. Kulirik tajam sosok perempuan berambut cepak dengan senyum usil yang siap menguliti dan menganalisis gerak-gerikku.
"Ka, jangan asal ngejeplak deh. Tahu dari mana lo kalau gue semalam party?" setengah berbisik aku mendekati perempuan itu dan mencubit lengan atasnya. Dia pasti tahu benar maksud pertanyaanku yang lebih ke sebuah peringatan 'please, deh... kalo lo tahu, diem aja napa?'
"Dari Story Instagram lo yang jelas banget ngasi liat kalau semalam lo bersenang-senang," jawabnya dengan ekspresi datar.
Lo sempet-sempetnya storiin party lo semalam, Tra? Mabok sih mabok, tapi gimana ceritanya lo masih bisa caper? Cewek geblek!
"Oh, itu—"
"Tanpa itu juga, gue tetep tahu lo semalam nggak pulang ke rumah. Ngeliat lo mati-matian ngucir rambut pake scarf yang nggak matching sama motif kamisol lo, lalu... flat shoes yang lo pernah bilang kepaksa beli karena kemakan diskon gede-gedean dan janji nggak bakal lo pake kecuali kiamat." Dengan santai Ika menunjuk ke bagian ikat rambutku dan ke bawah kakiku. Gayanya sudah seperti detektif di film-film kriminal saat mengurai hipotesis penyelidikan. Menyebalkan.
"Tenang aja, gue nggak bakal ngember kok. Kalau perlu, lo boleh pake cadangan gue. Gue banyak nyimpen baju di loker ganti."
"Lo serius?" mataku membelalak, seperti rusa kelaparan yang disodori mangsa untuk dimakan.
"Asal lo selalu siap sajen buat gue kapan pun gue butuh..."
Rasanya aku nggak tahu harus menerjemahkan kalimat itu sebagai tawaran kebaikan ataukah ancaman. Kupaksakan saja untuk tersenyum. Meski niat baik Ika sayang untuk dilewatkan, aku menghindari berhutang budi dengan siapa pun. Lagi pula, pergi party dan nggak pulang semalaman, bukan suatu hal baru buatku. Yah, seenggaknya buat orang yang kerja di kantor Belle Ame. Palingan aku harus menebalkan telinga mendengar ceramah dari Bu Sandra dan beberapa asistennya yang sering gonta-ganti itu.
"Sajen apaan nih? Bagi dong buat gue juga," seru Mila, salah satu asisten Bu Sandra yang tahu-tahu nimbrung dan selalu ingin tahu perkara banyak hal—curious in a bad way—yang membuatku ingin mengusilinya.
"Bukan apa-apa, cuma gue yang ketahuan Ika kalau sejak kemarin gue belum pulang ke rumah sekalipun gue udah nutupin outfit yang kemarin gue pake dengan ikat rambut scarf dan ganti sepatu." Aku terang-terangan menjelaskan kondisiku.
"Oh ya? Emang kenapa lo nggak pulang?"
"Ngapain lagi coba? Ya demo masak laaah," seruku sambil tergelak dengan suara keras meski di sekitarku nggak ada yang ikut tertawa sepertiku.
"Astaga, Tra... lo tuh udah umur berapa masih main-main yang begituan? Di mana-mana, cewek seumuran lo tuh udah settle sama satu relationship, lalu mulai merencanakan masa depan, seperti para klien kita di Belle Ame. Lo nggak capek apa, main-main terus, dari one night stand satu ke yang lain?"
See? I told you... she's annoying as fuck. SJW dari kaum milenial yang sama sekali nggak peka. Gayanya yang sok asyik membuat kami kerap tertipu, mengira bahwa dia jenis perempuan open mind yang terbuka dengan segala perbedaan. Nyatanya, Mila bakal menguliti habis-habisan siapa pun yang memiliki prinsip beda dengan dirinya. Untung saja, posisi asisten bukan posisi tetap di Belle Ame. Jika tidak, mungkin setiap hari aku harus menelan pil penenang karena tatapan penuh penghakiman yang selalu dialamatkan kepadaku.
"It's okay, i'm not going to marry anyone anytime soon. Lagi pula gue jomblo dan nggak lagi selingkuh sama suami orang. Apa yang gue lakuin nggak merugikan siapa-siapa. Santuy aja dong," ujarku berusaha santai meski rasanya aku ingin melenggang pergi saja dari dua orang yang sekalipun terlihat berbeda, di dalamnya sama saja. Sama-sama menikmati menyaksikan kelemahan orang.
"Tapi itu kan ngerugiin diri lo sendiri. Lo kayak nggak berharga gitu di mata laki-laki, gampang banget naik ranjang sama laki-laki padahal lo nggak kenal-kenal amat."
Aku menghela napas, menatap dengan lelah ke sosok perempuan yang suka ikut campur urusan orang ini.
"Mil, soal apakah yang gue lakuin merugikan diri gue atau enggak, gue yang nilai. Lo nggak usah repot-repot. Soal gue berharga atau enggak di mata laki-laki, please deh... gue nggak berniat jadi barang dagangan di depan mereka. Lo ngatain gue nggak berharga itu dari kacamata lo, bukan laki-laki."
"Masalahnya, lo tuh udah mulai berumur. Mau tiga puluh kan lo? Mau senang-senang model kayak gitu sampai kapan? Sampai umur lo lewat empat puluh dan udah nggak bisa punya anak?"
Aku menggeram. God, aku benci sekali dengan percakapan semacam ini.
"Lo tuh lama-lama kayak emak gue ya... ngomongin soal rahim punya tanggal kadaluwarsa. Untungnya lo bukan emak gue jadi gue nggak perlu jaga mulut. Gini ya, Mil... punya anak itu sesuatu yang buat gue overrated banget. Kenapa? Karena dengan banyaknya anak nggak beruntung di dunia ini, egois banget kalo kita memilih mengasuh anak sendiri yang mungkin aja tumbuh jadi anak manja kecanduan gadget dan suka teriak-teriak nyebelin kayak nggak pernah diajarin sopan santun."
Muka Mila terlihat merah padam karena jelas sekali untuk kalimat terakhir memang aku tujukan untuknya, ibu dari iblis kecil yang kalau kebetulan mampir ke kantor Belle Ame sepulang sekolah, teriak-teriak kayak kesetanan dengan gadget selalu melekat di tangannya. Taruhan, di rumah yang bisa mengendalikan iblis kecil itu bukan Mila, tapi pengasuhnya.
"Lo tuh nggak pernah jadi seorang ibu, lo nggak perlu nge-judge gue, Tra."
"And how it's feel? Feeling being judged? Lo juga setiap ketemu gue selalu berusaha sok nguliahin gue dan hakimin gue sesuai standar lo. Lo pikir gue suka digituin?" balasku.
Mila terdiam, tapi aku tahu setelah ini dia nggak akan berhenti menghakimi gue.
"Ok, ladies... konter resepsionis gue bukan tempat buat adu argumen lho. Dan FYI aja, Bu Sandra baru aja ngabarin gue kalau sebentar lagi kita bakalan kedatangan klien penting. Saaaangat penting, jadi simpen dulu taring kalian and let's get back to business."
Suara Ika bagai penyelamat di tengah medan perang. Sebagai salah satu asisten Bu Sandra, Mila terlihat lumayan panik dan buru-buru pergi untuk naik ke kantornya. Aku menghela napas lega dan mengisyaratkan kalimat 'terima kasih' dengan gerakan mulut tanpa suara ke arah Ika. Ika mengangguk sambil tersenyum.
"So... berminat minjem baju cadangan gue nggak?" tawarnya lagi.
"Oh, god. YES!"
Sungguh melelahkan menghadapi rasa ingin tahu orang lain seperti Mila-Mila yang lainnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Through My Lens
Chick-LitPetra Larasati, si kutu loncat dalam pekerjaan dan dalam hal segala hal, termasuk percintaan. Doyan jatuh cinta, tapi tidak pernah menjalin hubungan serius. Di antara banyak job yang ia lakukan, Petra memutuskan untuk yang menjadi fotografer di seb...