Lens #4 - I'm Having A Bad Day

532 84 4
                                    

Song for this chapter:
Fun feat. Janelle Monae - We Are Young

🌸🌸🌸

Belum pernah aku merasa sedemikian menyesal terlibat dalam pernikahan akbar seorang pewaris konglomerat produsen makanan terbesar yang namanya masuk dalam jajaran nama orang-orang terkaya dan paling berpengaruh dalam perekonomian negara. Proyek pernikahannya seharusnya menjadi batu loncatanku untuk membuktikan kemampuanku dan memberikan yang terbaik dari apa yang aku punya setelah aku memutuskan untuk fokus menekuni dunia fotografi. Satu dari beberapa hal sulit yang berhasil kuputuskan setelah aku bertemu dengan Bu Sandra dua tahun lalu. Aku bahkan belum melangkah lebih jauh terlibat dalam proyek pernikahan akbar itu, sekarang rasanya justru aku sangat berdosa jika nekat mengambil bagian dalam pernikahan Aksa Hendriatmadja itu.

God. Kenapa aku sedemikian putus asanya sampai harus menceritakan kehidupanku yang paling pribadi di hadapan laki-laki yang akan jadi suami orang itu? Dalam keadaan mabuk pula. Pil pahit yang harus kutelan bulat-bulat hari ini adalah fakta bahwa aku kini mengingat jelas setiap kalimat yang kulontarkan di hadapan laki-laki itu semalam.

Oh, sebentar. Bagaimana mulanya kami bisa dekat dan mengobrol sedemikian intens?

Musik. Ya, musik keparat. Temanku Si Troy lah DJ yang in-charge dalam menghangatkan suasana kelab malam itu. Dia kerasukan apa sih sampai harus memutar racikan musik-musik era 90-an dicampur dengan beat-beat nostalgia dari musik pop rock alternative yang sempat populer di era 2000-an? Hasil dan eksperimen musiknya begitu dahsyat sampai-sampai aku tidak sengaja terlalu larut dan bernyanyi keras-keras. Yah, well... Troy tahu aku sangat ekspresif jika berkaitan dengan menikmati pesta. Bahkan seluruh follower-ku di media sosial juga tahu bagaimana gila-nya aku jika sudah larut menikmati konser, live music atau apa saja yang membuatku melepaskan gengsi dan rasa malu demi menikmati malam. Mereka bilang, ekspresi kebahagiaanku sangat menular. Membuat siapa pun yang juga berada di lokasi ikut larut menikmati. Alasan itulah yang membuatku dibanjiri undangan untuk menghadiri party sana-sini. Aku bisa jadi mood maker tanpa merasa terpaksa sedikit pun.

Dan semalam sungguh racun yang buruk. Dari lagu-lagu lama yang dimainkan DJ, beberapa di antaranya adalah lagu patah hatiku saat aku duduk di bangku kuliah. Campuran antara perasaan suka cita menikmati pesta dan ingatan patah hati sungguh pemandangan yang menarik rupanya buat sebagian orang. Termasuk laki-laki itu yang mendekatiku dan memberiku minuman.

"Another shot of whiskey can't stop looking at the door. Wishing you'd come sweeping in the way you did before.... And i wonder if I ever cross your mind. For me it happens all the timeeeeeee!!!"

Lalu saat chorus lagu hits dari Lady Antabellum yang sangat aku hapal di luar kepala mengalun, saat itu aku menggila. Di saat itu, dia menghampiri dan menyodorkan minuman untukku.

"Here! I give you another shot. Instead looking at the door, can we just talk?" begitulah kira-kira kalimat pembuka yang mengawali percakapan kami malam itu.

Aku mengernyitkan kening dan memperhatikan senyumnya yang tersungging saat mengulurkan gelas minuman di tangannya. Aku tidak serta merta menerimanya. Alih-alih, aku merasa geli karena dia mengira aku benar-benar patah hati malam itu dan memakai lirik lagu "I Need You Now" sebagai alat untuk melontarkan rayuan.

"Excuse me, Sir... nggak semua orang yang nyanyiin lagu patah hati itu beneran lagi patah hati lho," semburku sembari tergelak.

"Tapi yang ada di kepalamu, kamu sedang mengglorifikasi patah hati di benakmu tepat di momen kamu menyanyikan lagu itu."

Aku merasa ucapannya sangat tidak menarik ketika yang dilakukannya pertama kali sebelum kenal denganku adalah menghakimiku.

"Please... mau itu menangis, tertawa atau menari, orang berhak merayakan patah hatinya sendiri. Siapa kamu sok ngatur-ngatur bagaimana orang menyikapi patah hati?" todongku.

"Aku nggak ngatur kamu menyikapi patah hati, tapi sayang lho... kalau di malam yang harusnya kamu bebas tersenyum malah teringat kisah-kisah sedihmu. Seperti tawamu yang mudah menular, ekspresi patah hatimu bisa membuat orang-orang di sini bisa mendadak banjir air mata."

Aku tidak menyadari tatapan orang-orang yang terpusat padaku sebelum dia mengatakannya. Terkadang saat menikmati sajian musik, aku suka lupa tujuan semula keberadaanku di sini. Menceriakan suasana dan bukannya menghancurkan mood bahagia. Seketika aku merasa secara tidak langsung diingatkan oleh orang asing.

"Tenang saja, aku nggak akan menangis di sini. Silakan lanjutkan kesibukanmu semula. SIR," ucapku menekankan panggilanku untuknya. Aku berpura-pura nggak peduli dan kembali menggerakkan tubuhku seiring irama musik. Namun, setelah berapa lama, aku nggak habis pikir kenapa laki-laki itu nggak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Mau sampai kapan dia melihatku terus?

Terpaksa aku bertanya kepadanya. "Kenapa kamu masih di sini?"

Wajahnya tampak sangat kecewa. "Aku deketin kamu itu sambil bawain minuman buat kamu. Nggak mungkin kan aku bawa lagi balikin ke bartender? Meski kayaknya kamu nggak suka, bisa nggak kamu bersikap baik sebentar aja dan ngobrol-ngobrol sama aku? I'm having a bad day, sepertinya aku butuh teman bicara untuk hal-hal nggak penting. Misalnya... cerita-cerita patah hatimu?"

Aku menatapnya sedikit sinis ditambah dengusan heran. Meski aku nggak suka caranya memohon untuk meminta perhatianku, harus aku akui wajahnya terlalu sayang untuk diabaikan. Posturnya tinggi meski tidak terlalu jangkung. Berkacamata dan kulit bersih dengan sedikit rambut-rambut kasar di sekitar bawah dagunya yang terkesan macho. Kalimat sakti darinya yang membuatku susah menolak adalah "I'm having a bad day".

Yah siapa pun, jika sedang mengalami hal buruk, pasti ingin dihibur. Sejauh ini laki-laki itu nggak kurang ajar padaku. Andai dia kurang ajar saat kami sedang mengobrol, aku toh tetap bisa meninggalkannya dan kembali pada crowd. So, why not?

***

Through My LensTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang