Belanja

107 7 2
                                    

Seperti yang direncanakan Mas Je di malam di mana alerginya kambuh, hari ini kita akan pergi ke pusat perbelanjaan perabotan rumah. Mengingat perabotan di rumah Mas Je juga masih tergolong sepi, maka selain akan membeli meja rias, kita pun akan membeli perabotan rumah lainnya.

Padahal Mas Je pernah mengaku jika dirinya sudah menempati rumah itu selama 3 tahun lamanya, namun perabotan yang ramai hanya ada di dalam kamar serta dapur saja. Selebihnya, seperti di ruang tamu dan ruang keluarga hanya ada sofa, meja dan tv. Tidak ada barang lainnya.

"Mas, kayaknya nanti aku bakal kalap deh di sana."

"Gapapa, kalau memang kamu merasa butuh, ambil aja semua."

Itu percakapan kita berdua saat masih berada di mobil. Tapi kenyataannya, ketika kita sudah sampai di pusat perbelanjaan, malah Mas Je yang kalap.

Sedaritadi Mas Je selalu berkata;
"Shay, kayaknya kita butuh ini, deh."

"Shay, ini lucu ya. Kita bungkus."

"Shay, kayaknya ini cocok kita simpen di balcony."

"Shay, menurut kamu lebih cocok disimpen di mana? Ruang tamu atau ruang keluarga?"

"Shay, lebih bagus warna ini atau yang itu?"

"Shay, ini lucu banget. Kita beli dua yuk? Aku satu, kamu satu."

"Shay, aku bingung, deh, mau ambil yang ini apa yang tadi. Kalau menurut kamu lebih lucu yang mana?"

"Shay, ayo kita liat cermin itu. Kayaknya lucu buat disimpen di kamar."

"Shay, coba deh kamu liat sofa itu. Cocok gak kalau disimpen di ruang keluarga? Kayaknya asik kalo nonton di situ."

"Shay, bantu aku, dong. Pilihin, yang kanan atau yang kiri?"

"Shay, itu gemes banget gak sih? Kita culik yuk. Bawa pulang."

"Gak boleh, Mas. Itu anak orang." Mas Je malah tertawa mendengar responku.

Masih banyak lagi Shay, Shay, lainnya. Sebenarnya aku tidak apa-apa jika Mas Je semangat memilih perabotan untuk rumahnya. Tapi masalahnya, Mas Je selalu berlari-lari kecil dari satu tempat ke tempat lainnya seraya menarik lenganku agar mengikuti dirinya berlari. Kan jadi capek.

"Ini tadi kita udah masukin bukan, Mas?" Aku bertanya ketika Mas Je membawa satu buah vas bunga, lagi.

Mas Je terlihat berpikir. "Emang iya?"

"Iya."

"Gapapa, lah. Lucu. Bisa disimpen di ruang makan."

Itu lagi alasannya. Padahal tadi Mas Je sendiri yang bilang kalau kita harus mementingkan fungsi barang sebelum kita membelinya. Tapi kelakuannya sedaritadi malah berbanding terbalik. Mas Je selalu memilih barang yang terlihat lucu di matanya. Giliran ditanya, "Terus nanti kita pake buat apa? Kan belum terlalu butuh. Mas Je butuh banget?" Dia malah menjawab, "Gak terlalu juga sih. Tapi lucu, Shay. Jadi bungkus dulu aja. Nanti juga butuh."

Dan setelah beres berbelanja, dia sendiri yang mengeluh. "Aduh capek banget keliling-keliling. Laper lagi. Kamu capek gak, Shay?"

Tentu. Sudah empat jam kita mengelilingi setiap sudut di sini. Padahal biasanya kan dia hanya duduk  mantengin pacarnya selama berjam-jam.

"Capek, Mas. Mending kita makan sekarang aja yuk?" Ini kesempatan aku untuk mengalihkan pikiran Mas Je dari barang lucu lainnya.

"Sebentar. Kita ke sana lagi yuk? Ambil barang yang tadi." Sayang, ternyata tidak berhasil.

"Katanya gak butuh?"

"Sekarang butuh."

"Kenapa?"

"Lucu."

Here With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang