05. Batas

1.6K 148 0
                                    


***

Kosong, itu yang Renjun rasakan setelah Mark meninggalkannya sendirian. Entahlah, setelah lelah menangis, Renjun tidak sedikit pun beranjak dari tempatnya. Pemuda itu hanya diam, termenung memandangi langit-langit kamarnya seolah itu adalah hal yang menarik.

Ia menoleh pada meja yang tak jauh darinya, menatap sebuah benda pipih kecil yang ia gunakan untuk menyelesaikan tugas sekolahnya beberapa waktu lalu. Renjun lantas bangkit dan meraihnya. Mengarahkan benda tajam itu pada pergelangan tangannya.

Mungkin inilah yang seharusnya ia lakukan semenjak dahulu. Ya, jika Jaemin berniat meninggalkannya, tidak apa kan kalau dirinya lebih dulu pergi. Dengan begitu ia tak akan merasakan sakitnya ditinggalkan.

Perlahan Renjun menekan dalam cutter di tangannya, cairan merah pekat itu mulai mewarnai pergelangan nya menjadi sangat indah menurutnya. Pemuda itu tersenyum kembali meneteskan air matanya.

'Semuanya akan usai kan?'

Tubuh Renjun lemas, setelah banyak darah yang menetes ke lantai kamarnya, ia jatuh terduduk di atas lantai. Benda tajam itu terjatuh dari tangannya setelah berhasil menggoreskan luka dalam di pergelangan tangannya.

Di atas lantai itu, renjun merasa dirinya mulai kedinginan. Tangannya yang terluka sudah tidak terasa dan bibirnya bergetar menahan dingin. Renjun mencoba memeluk dirinya sendiri tetapi sia-sia. Ah, mengapa di saat seperti ini ia malah teringat dengan mama dan papanya. Harusnya ia tidak perlu khawatir. 

'Dingin...' Lirih Renjun.

Di ujung kesadarannya, ia melihat sesosok pria dewasa dengan wajah yang menenangkan memberi uluran tangan ke arahnya. Renjun mengangkat tangannya mencoba menggapai, walau hanya udara kosong yang ia capai, dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia berharap seseorang akan datang dan menyelamatkannya.







***

BRAK!!!

"Hahh... Hahhh... Hahhh..."

Jaemin terbagun dari tidurnya, ia bermipi buruk, sangat buruk. Dalam mimpinya ia melihat sebuah upacara pemakaman, namun bukan foto dirinya yang tertera di sana, melainkan sepupunya, Renjun. Jaemin takut, sungguh ia ingin berlari menemui sepupunya itu.

Jeno yang berada di ruangan yang sama terbangun karena suara benda jatuh yang disebabkan Jaemin, ia mengusap dadanya menenangkan detak jantung nya yang berpacu cepat. Pemuda itu menghampiri Jaemin yang asmanya kembali kambuh lalu menyodorkan inhaler.

"Ck, kenapa lagi. Ini udah malem." Tanya Jeno.

"R-Renjun bang, Renjun ga papa kan?" Jaemin menahan tangisnya.

"Hhh... kirain apaan. Gausah ngelantur, si anak haram itu pasti baik-baik aja." Jeno berjalan mengambil sebuah gelas berisi air.

"Dia punya nama."

"Gak peduli."

Tanpa sepengetahuan adiknya, ia memasukan sebuah obat kedalam cairan bening itu dan memberikannya pada Jaemin. Setelah meneguk habis air itu, jaemin merasa matanya memberat. Ia mencoba untuk tetap sadar, namun nihil usahanya tidak berbuah hasil.

"I-Injun. B-bang, Mata Nana Ber-" Tanpa menyelesaikan kalimatnya Jaemin kembali tertidur.

Jeno menatap sendu, "Ya, istirahat yang banyak." Ucapnya.

"Jangan pikirin orang lain dulu Na, pikirin kesehatan kamu sendiri." Jeno mengusap kepala adiknya penuh kasih sayang.

Kantuk Jeno kini hilang entah kemana, mungkin karena terkejut, ia jadi sepenuhnya sadar sekarang. Mengingat kembali kekhawatiran adiknya, Jeno jadi menimbang-nimbang apa ia harus pergi ke tempat sepupunya itu? Tapi jam masih menunjukkan pukul 12 malam.

Pemuda itu kembali menyelimuti dirinya dan mencoba untuk terlelap, namun entahlah sesuatu dalam dirinya menyuruh Jeno untuk mengecek keadaan Renjun. Ia menyibak selimutnya dengan kasar dan mengacak rambutnya frustasi.

"Argh! Renjun sialan!" Umpatnya sebelum mengambil jaket dan kunci motornya.

Tiga puluh menit Jeno habiskan untuk mencapai tujuannya, udara malam begitu menusuk membuatnya mengeratkan jaket yang dikenakannya. Hidungnya sudah memerah, Jeno sebenarnya tidak kuat akan udara dingin dirinya akan bersin-bersin jika kedinginan.

Tok

Tok

Tok

Tidak ada jawaban, Jeno kembali mengetuk. Tetap tidak ada jawaban. Apa anak itu sudah tidur? pikirnya. Jeno memutuskan untuk mencobanya sekali lagi, jika masih tidak ada respon ia akan pergi.

Tok

To-

Ceklek.

Amis, aroma yang pertama kali ia rasakan saat memasuki ruang sempit itu. Jeno mengedarkan penglihatannya dan terkejut melihat genangan darah yang sudah sedikir mengering di lantai. Ia merogoh ponselnya dan mencoba menghubungi Renjun.

Drrtt... Drrrtt...

Bunyi ponsel itu berada di dekatnya, Renjun meninggalkan ponselnya di atas kasur. Jeno kembali memutar otak, siapa lagi yang mungkin tahu keadaan sepupunya itu. Ia segera menelpon Mark, kakak tiri Renjun. Beberapa menit ia menunggu, malah suara operator yang menjawabnya.

Apa ia harus memberitahu tante dan om nya? Jeno benar-benar buntu. Pemuda itu mengusap wajahnya kasar, tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia kembali menutup pintu kosan Renjun dan melajukan motornya membelah jalanan malam.





***

"Bang, darimana?"

Yolanda meletakkan gelasnya di atas meja dapur dan menghampiri putra sulungnya. Tangan wanita itu terangkat dan menampar Jeno keras, membuat sensasi panas yang kentara di pipi kanan Jeno.

Jeno diam, entah karena menahan sakit pada pipinya atau sakit hatinya atas perlakuan Bundanya tadi. Wanita itu berbalik, mengambil gelas yang semula ia letakkan dan menghatamkannya pada kepala Jeno.

PRANG!

"KAMU BERANI NINGGALIN NANA SENDIRI LAGI?!"

"Maaf Bun, tadi Abang ke kosan Renjun, di-" Belum selesai penjelasan Jeno, Bundanya kembali menamparnya.

"Kamu lebih milih anak haram itu daripada adik kamu sendiri?! Dimana otak kamu Jeno!" Ucap Yolanda sambil menoyor kening Jeno dengan telunjuknya.

Pemuda itu menunduk menerima semua perlakuan Yolanda padanya, Wanita itu menghembuskan napas lelah. "Mulai sekarang sampai minggu depan, jangan harap kamu dapet uang jajan. Itu hukuman buat kamu, supaya kamu sadar apa kesalahan kamu." Ucapnya lalu melengang pergi.

Jeno pergi masuk ke kamarnya dan Jaemin, melihat adiknya tidur tenang membuat amarahnya kembali memuncak. Jeno naik ke atas ranjang adiknya dan mencengkram leher Jaemin erat.

"Na. Kalau kamu ga ada, apa Bunda akan lebih perhatian sama abang?"

Namun ia menarik kembali tangannya, Jeno terduduk di samping ranjang Jaemin dan menangis lirih. Ia mengingat kembali, bagaimana ia sangat menanti kehadiran Jaemin dahulu. Dirinya tidak pernah absen seharipun untuk mencium perut Bundanya saat itu.

"Bunda, apa adik bayi itu laki-laki?" Jeno kecil mengelus perut besar Bundanya.

"Iya, Jeno mau kan punya adik laki-laki? Nanti Jeno mau dipanggil apa? Kakak atau abang?"

"Hihihi, mau. Jeno mau dipanggil abang aja sama adik bayi. Nanti Jeno ajak main bola bareng."




tbc

Luka -Renjun ft. NCT DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang