Amira melangkah mendekati Zhafi yang termenung seorang diri di taman belakang rumah milik orang tua mereka. Adiknya itu sedang menduduki kursi lounge di pinggir kolam renang. Memandang kosong pada lapangnya hamparan air yang tampak tenang tak beriak. Ntah apa yang Zhafi pikirkan, Amira memutuskan mencari tau langsung dari adik laki-lakinya itu.
"Zhafi..."
Wanita cantik itu menyentuh pundak sang adik, menepuk pelan bahu tegap adiknya yang malam ini tampak gentar oleh masalah yang dihadapinya. Zhafi tersentak lantas menoleh dengan kerjapan pelan dari kelopak matanya. "Ya, mbak?" balasnya linglung.
"You okay?"
"Bohong kalau aku jawab iya."
Amira meremas bahu adiknya dengan mata yang berkaca-kaca. "What happened, Zhafi? How can all those horrible things—" kalimat wanita cantik itu terputus oleh isakannya sendiri.
Amira menangis secara tiba-tiba. Kalah oleh rasa empati pada masalah yang sedang adiknya hadapi. Dia bersedih untuk alasan yang sangat sukar dia jabarkan.
Sementara sang kakak larut dalam isakannya, Zhafi kembali menghela napas panjang nan berat. Satu hal lagi yang menjadi bebannya. Sebab ibu dan kakaknya harus ikut menitikkan air mata kesedihan akibat aksi bejat yang dia lakukan. Bagus sekali. Kini Zhafi telah sempurna menyakiti hati tiga wanita hanya karena satu kesalahannya.
Kesalahan yang sayangnya amat sangat fatal.
"Aku pertama kali ketemu dia di pinggir kolam renang, mbak..." laki-laki itu berujar lirih ketika isakan Amira perlahan mereda. "She was complicated. Standing near to the pool sullenly. Dia kelihatan acuh oleh riuhnya suasana tempat itu tapi di satu sisi dia juga menunjukkan kesan ingin tau sama kejadian-kejadian di sekitarnya."
Kakak perempuan Zhafi itu mendengarkan adiknya bercerita dengan suara bergetar nan berat.
"She almost died that night. Ada peluru yang nggak sengaja mengarah ke dia—"
"And you're the one who saved her?!"
Zhafi mendesah. "Just to ended up make her dying even more."
"..."
"I was drunk that night."
"Mabuk karena—"
"Her." Zhafi balas memotong. "Aku mabuk oleh pesonanya. Harum tubuhnya, penampilannya, kecantikannya. Aku kehilangan kendali atas dia malam itu. Consciously."
Amira sontak membekap mulutnya kaget. Tetesan air mata berjatuhan lagi membasahi wajah cantiknya. Wanita itu menggeleng pelan. "Mbak tau kamu bukan orang dengan sifat serendah itu, Zhafi! Kamu adik mbak! Nggak mungkin kamu ngelakuinnya secara sadar!"
Zhafi tersenyum kecut. "Itu faktanya, mbak. Aku laki-laki biadab yang memerkosa seorang gadis hingga dia hamil." aku laki-laki itu dengan perasaan yang tercabik.
Tercoreng oleh kenyataan menyakitkan.
Sementara kakak perempuannya kembali larut dalam tangis, Zhafi justru berulangkali membujuk hatinya untuk tetap tegar menghadapi masalah yang telah dia ciptakan. Tidak lari dan bersembunyi layaknya seorang pengecut yang enggan menyelesaikan kekacauan akibat perbuatannya sendiri.
Tapi rasanya begitu sulit bagi Zhafi.
Harus bagaimana dia mendapatkan maaf dari Kyra? Harus bagaimana Zhafi menjelaskan bahwa dia benar-benar ingin mempertanggungjawabkan kesalahannya malam itu? Harus bagaimana dia bisa... membersihkan noda yang dia torehkan seorang diri?
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Penghujung Jalan Kita
Spiritual============================ Tentang luka, yang menjadi awal semua bermula. ~ Zhafi Hasan Sastrasanjaya Tentang cinta, yang memilih menua bersama. ~ Aksara Azzam Husani Tentang asa, yang menanti sebuah nama. ~ Salman Syair Al-Farisy Tentang kita, ya...