Hujan tidak sederas sebelumnya. Walau begitu rintik airnya masih setia turun. Masih terdengar sedang gemuruhnya dari teras rumah Anisa. Mata sayu Anisa memperhatikan tiap gelombang kecil yang tercipta di pelataran halaman rumahnya. Tangannya sudah beberapa detik yang lalu meletakkan payung lipat hijau army di sebelahnya.
Anisa merasa tak enak hati, merepotkan orang lain. Payung lipat yang biasanya mampu berfungsi dengan baik sangat susah ia buka waktu di halte. Macet. Sampai akhirnya ada Arya yang sebenarnya sudah Anisa tolak ajakannya, justru merelakan payung lipat untuk Anisa. Arya bahkan sampai rela menerobos hujan deras, menuju mobil.
Semoga Arya baik-baik saja. Itulah kalimat yang terentet membalas pemikiran negatif selintas Anisa, bagaimana kalau Arya sakit karena menerobos hujan deras?
" Lho, Kak Anisa? "
Kepala Anisa langsung menoleh ke belakang. Ada Haidar yang memegang ganggang pintu. Menatap Anisa agak kaget. Tangan Haidar lantas membiarkan saja pintu terbuka. Langsung menghampiri Anisa. Menarik tangan Anisa, lalu mengarahkan tangan Anisa ke hidungnya. Menyalami takzim.
" Kak Anisa udah pulang dari tadi? Tapi kenapa disini? Enggak masuk langsung.... " Tatapan heran pasti Haidar layangkan. Diluar juga tadi hujan cukup deras, walau sekarang hujannya sedang. Namun hawa dingin tetap menusuk kulit. Begitulah pikir Haidar.
" Eh ini payungnya ... Kak Anisa? Haidar teh baru ningali [ melihat ] " ujar Haidar menatap payung hijau army.
Anisa tersenyum sekilas. " Bukan, Haidar. Itu payung Kak Arya, " jujur Anisa.
Haidar mengerjap, payung Kak Arya kata kakaknya? Kok bisa? Setahu Haidar kakaknya itu juga punya payung lipat semacam itu. Cuma bedanya bermotif garis. Kenapa malah kakaknya sekarang bawa pulang payung Kak Arya, lelaki yang ia ingat pernah bertemu minggu lalu.
" Payung Kak Arya?? Memang payung Kak Anisa kenapa? Oh, Kak Anisa lupa bawa payung, ya! "tanya dan tebak Haidar.
Anisa menggeleng. Beralih duduk di kursi yang ada di teras. Melepas sepatu miliknya yang pasti basah terkena hujan. Haidar memutar badan, mengamati Anisa. " Payung Kakak ada. Hanya saja macet, Haidar, "jelas Anisa menatap sekilas ke adiknya, tangannya melepas sepatu di kaki kanannya.
Haidar beralih duduk di kursi sebelah sang kakak. Mendengar alasan sang kakak, remaja itu mengulum senyum jahil. Tangan telunjuknya teracung tergerak. " Jadi, Kak Anisa ngehampirin Kak Arya! Bilang payungnya macet, terus Kak Arya kasih payung lipat itu, ya? "cetusnya.
" Bukan begitu.... "
" Sama Haidar enggak usah malu atuh Kak! " ledek Haidar.
Anisa menarik tangan dari sepatu, menyisakan kakinya yang masih terbalut kaos kaki, menggeleng pelan dengan Haidar yang justru iseng mengulum senyum. Menebak hal yang sama sekali tidak Anisa lakukan.
" Kamu sudah makan belum, Haidar? "tanya Anisa mengalihkan pembicaraan.
" Kan! Berarti teh bener kata Haidar tadi. Kata guru abdi [ aku ] di sekolah, kalau orang ketahuan suka alihkan pembicaraan, " sentak Haidar mengutip kata gurunya.
" Bukan begitu, Haidar. "
Haidar terkekeh, melihat sang kakak yang nampak tidak terima dengan tiap balasan dirinya. Sejujurnya Haidar juga tahu, Kak Anisanya itu tidak akan berani melakukan yang ia tebak tadi. Dulu di Bandung juga belum pernah Haidar dengar aneh-aneh dengan lawan jenis. Malah sepertinya tidak pernah dia dengar punya teman cowok. Hanya disini saja, ada nama Kak Arya yang rupanya sudah terlihat menaruh suka ke sang kakak. Walau Haidar masih terbilang baru remaja peralihan, ia bisa menangkap itu waktu Kak Arya menatap Kak Anisa cukup lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Anisa
SpiritualBerawal dari taruhan antara Arya cs yang melibatkan seorang gadis berjilbab bernama Anisa.Arya menerima taruhan tersebut dengan entengnya dan percaya diri berkali lipat.Namun sepertinya kali ini tak semudah angannya. "Hai,gue Arya." "Assalamualaikum...