Tanggung Jawab

47 2 0
                                    

Kalau kalian mengira Juwita nggak bisa lolos dari kejaran Elang, kalian benar.

Jelas saja. Dengan tubuh gemuk seberat sembilan puluh kilogram, meskipun sudah berusaha secepat mungkin untuk tiba di gerbang belakang kampus, kecepatan Juwita masih bisa dikalahkan oleh Elang.

Lelaki itu dengan tubuh menjulang langsung menghadang Juwita saat mereka hampir tiba di gerbang belakang.

Nafas mereka terengah-engah. Terlebih lagi Juwita.

"Sialan. Kenapa pake lari-lari sih?" Elang mengernyitkan dahinya, menatap tak suka pada Juwita.

Kenapa? Kenapa katanya? Ya, jelas karena gue takut lah! Nggak ngaca kalo tampilan lo kayak preman yang mau nagih utang?! , gerutu Juwita dalam hati. Iya, dalam hati aja. Kalau diucapkan secara langsung sudah jelas ia tak punya nyali. Takut badannya akan dijadikan adonan oleh Elang.

Juwita ingin mengucapkan sepatah dua patah kata, ingin meminta maaf lagi lebih tepatnya. Tapi ia terlalu ngos-ngosan. Sampai akhirnya gadis itu memilih untuk menyandarkan tubuhnya di tembok gedung kampus, lalu tubuhnya merosot hingga dia duduk dengan kedua kaki yang diselonjorkan.

Berbeda dengan Elang yang nafasnya sudah kembali teratur. Ia berdiri tepat di depan Juwita. Tubuh atletisnya yang menjulang ternyata mampu menghalau sinar matahari yang sempat menyilaukan penglihatan Juwita.

"Lo harus tanggung jawab. Secepatnya. Gue nggak mau tahu."

Rentetan kata demi kata dari Elang membuat Juwita kembali panik. Sepertinya ini masih seputar kejadian di kantin tadi, "Kan gue udah kasih—"

Belum sempat Juwita menyelesaikan kalimatnya, Elang lebih dulu mengeluarkan selembar lima puluh ribu dan melemparkannya pada Juwita. Wajahnya terlihat luar biasa kesal.

"Dompet gue ilang, sialan! Nggak ngaruh duit dari lo!"

Gadis itu terdiam cukup lama, kebingungan memilih kata. Paniknya kini naik menjadi level dua.

"K-kok bisa ilang? Ilangnya setelah ki-kita tabrakan?" tanyanya hati-hati. Satu tangannya bergerak cepat memungut uang yang dilemparkan Elang. Lalu memasukkannya asal-asalan ke dalam totebag. Ini uang lima puluh ribu, sangat berarti bagi anak kost seperti dirinya. Setidaknya uang itu masih cukup untuk membeli mie ayam lima mangkok.

Juwita akhirnya bisa berdiri lagi setelah ritme pernapasannya kembali normal.

"Jelas setelah lo nabrak gue lah! Sebelum ke kantin gue udah yakin dompet gue ada di kantong celana. Terus setelah nabrak lo dan gue mau beli gorengan, dompetnya malah lenyap!" Elang mengacak rambut dengan frustasi.

Wajah frustasi Elang berhasil membuat perasaan bersalah kini menggerayangi hati Juwita. Sudah pasti ini semua karena salahnya kan? Salahnya yang terburu-buru sampai tak memerhatikan keadaan sekitar. Apalagi biasanya di dompet ada banyak kartu berharga yang biasa di pakai. Seperti KTP atau kartu ATM.

Perasaan takut, panik, bersalah, serta jengkel dengan dirinya sendiri membuat mata Juwita perlahan berkaca-kaca.

Ah, ia memang cengeng. Dan Juwita benci menunjukkan sisinya yang seperti ini di depan orang lain. Apalagi di depan cowok menyeramkan seperti Elang. Juwita takut lelaki itu akan menindasnya.

Menyadari bahwa lawan bicaranya memasang wajah hampir menangis, Elang justru jadi sedikit gelagapan, "H-heh!? Kenapa lo? Mau nangis?"

Lelaki itu menoleh ke kanan dan kiri, takut disalahpahami oleh orang-orang yang berlalu lalang. Ia berdecak, lalu berbisik penuh penekanan, "Yang harusnya nangis itu gue. Bukan lo!"

Juwita menunduk. Semakin merasa takut. Di matanya saat ini Elang seperti mengeluarkan tanduk hitam runcing yang siap menyeruduknya.

"Isi dompet lo ada berapa uangnya? Ada kartu apa aja? KTP? ATM? Nanti gue bukain rekening baru gimana? Kalau soal KTP, kayaknya lo sendiri yang—"

This Fat Girl Will Never Give UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang