Juwita tak terlalu menyukai rumahnya.
Bukan karena rumahnya sempit, atau tak layak huni. Rumah berlantai dua dengan gaya scandinavian itu bisa dibilang sangat layak huni untuk lima anggota keluarga—termasuk dirinya. Hanya saja, suasana di dalam rumah seringkali membuatnya sesak hingga dirinya lebih senang menghabiskan waktu di kost daripada harus pulang ke rumah.
Sikap ayahnya yang semakin keras semenjak berat badan Juwita naik menjadi salah satu alasan mengapa gadis itu tak lagi merasa nyaman di rumah. Hanya ada kata-kata menyakitkan seperti,
"Rawat badan kamu, jangan rakus,"
"Laki-laki mana yang mau sama perempuan gendut?"
"Perempuan itu harus cantik,"
"Percuma Papa susah payah menaikkan status sosial tapi kamunya nggak bisa merawat diri, nggak ada yang tertarik untuk meminang kamu. Bikin malu saja."
"Lihat itu kakakkmu. Cantik, pintar, anggun, bisa merawat diri. Teman-teman Papa sampai berebut mau menjodohkan anak mereka dengan kakakmu."
"Bakatmu dari dulu memang cuma bisa bikin Papa kecewa."
Sakitnya bukan main ketika ia mendengar kata-kata itu. Dua saudaranya tak pernah berani membela Juwita, seolah-olah mereka setuju dengan Papa—atau mungkin hanya bersikap acuh tak acuh agar tidak memperkeruh keadaan. Sedangkan Mama hanya bisa menyuruh Papa bersabar dan selalu menyuruh Juwita diet setiap kali berat badannya diungkit-ungkit. Juwita tak mengerti mengapa berat badannya seolah menjadi aib bagi keluarganya.
Di sini, di kota perantauannya, Juwita duduk sendirian di balkon kamar kostnya. Sudah lewat tengah malam. Semilir angin terasa semakin dingin tiap kali menyentuh kulitnya. Tiga jam yang lalu kakaknya memberi kabar melalui WhatsApp. Kabar yang cukup mengejutkan hingga dirinya hanya bisa duduk termenung berjam-jam memandangi langit malam.
Kak Winda
Dek, lusa aku menikah. Papa bilang kamu lagi pekan ujian di sana. Jadi Papa minta kamu fokus belajar aja. Maaf, aku maunya kamu hadir di sini. Tapi Papa kayaknya kurang setuju. Kamu ngerti kan, Dek?Kak Winda
Aku nggak bisa apa-apa. Papa yang bakal jadi wali di pernikahanku, aku takut kalau bertentangan sama Papa nanti pernikahanku nggak lancar.Kak Winda
Kamu jaga diri ya. Doain semoga acaraku lancarJuwita tertegun cukup lama memandangi layar ponselnya.
Ia lalu menelpon Mama. Mencoba menuntut penjelasan. Mengapa hanya Kak Winda yang memberi kabar soal pernikahan?
"Aduh. Maaf, Sayang. Mama beneran lupa. Mau ngabarin kamu tapi kelupaan terus. Di sini sibuk banget soalnya ngurusin semua kebutuhan buat acara Kak Winda. Kamu sehat di sana? Minggu depan kita kumpul-kumpul ya setelah ujianmu selesai, Sayang."
Dadanya bergejolak oleh perasaan marah bercampur sedih. Juwita langsung menutup telepon setelah basa-basi dengan Mamanya. Ia tahu 'pekan ujian' hanyalah alasan basi agar dirinya tak perlu hadir di acara kakaknya. Ia tahu orangtuanya memang tak ingin kehadirannya mengganggu acara sakral anak emasnya. Juwita merasa terbuang. Pada titik ini, Juwita lebih percaya jika dirinya tiba-tiba diberitahu bahwa ia adalah anak angkat di keluarga itu. Bagaimana bisa mereka setega ini padanya?
Satu bulir air mata akhirnya jatuh.
Juwita membenamkan wajahnya di kedua lututnya. Ia tak bisa membendungnya lagi. Gadis itu menangis terisak. Dalam momen-momen paling menyedihkan di hidupnya, Juwita seringkali berharap ada seseorang yang duduk menemaninya, menenangkannya, atau bahkan memeluknya. Juwita berharap ada seseorang yang bersedia mengatakan kepadanya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
This Fat Girl Will Never Give Up
Genel Kurgu"Katanya kalau perempuan terlahir cantik, setengah masalah hidupnya bakal dipermudah. Pantes aja hidup gue susah terus ya." "Emang lo nggak cantik?" "...Gue kan gendut." "Terus kalau gendut artinya nggak cantik? Aneh banget sih isi otak lo. Perlu g...