Lembur

95 8 3
                                    

⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯

⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯

Sudah satu jam dari pesan yang terakhir aku kirim pada Mas Je, tapi belum ada tanda-tanda aku akan pulang. Masalah di kantor memang sedang rumit sekali. Penggelapan dana yang melibatkan beberapa petinggi di kantor, kepala keuangan yang kabur menggunakan uang kantor, dan Reno yang berubah menyeramkan setelah ditunjuk oleh atasan yang paling atas untuk menyelesaikan semua permasalahan yang ada. Karena timku berada dibawah pimpinan Reno, maka akupun ikut kena getahnya.

Sebentar lagi kepalaku akan pecah jika terus-terusan begini.

Ini kali pertama aku lembur setelah menikah. Setelat-telatnya aku pulang, azan maghrib aku sudah di rumah. Hari ini juga kali pertama Mas Je makan malam sendiri di rumah. Sementara aku, sudah makan setengah jam yang lalu bersama rekan-rekan lemburku. Itu pun atas paksaan Reno.

"Ay, nanti pulang sama siapa?"

Mengetahui Reno ikut masuk ke dalam pantry kantor, aku tidak kaget lagi.

"Sama mobil." Aku cepat-cepat menyuci gelas bekas kopiku.

"Gak dijemput lagi sama laki-laki itu?"

Laki-laki itu?

Setelah menyimpan gelas yang sudah bersih, aku menatap Reno. Anak buahnya mencuci gelas saja ia perhatikan. "Laki-laki yang dimaksud Bapak, itu suami saya."

"Harusnya aku, Ay."

"Apa?"

"Aku yang jadi suami kamu, bukan laki-laki itu."

"Kirain, bapak kasih tau saya judul lagu." Aku meninggalkan Reno dari sana sendirian. Sepertinya baru aku yang berani melakukan itu, karena teman-temanku yang lain sangat-sangat segan pada Reno. Bos gila yang perfeksionis dan tak akan segan-segan memarahi anak buahnya yang melakukan kesalahan sedikit pun.

"Ay, pulang bareng aku mau?"

Menghentikan langkah kemudian membalikkan badan adalah hal yang kulakukan ketika mendengar ajakan itu.

"Kamu mau, Ay?"

Aku menggeleng. "Cuma mau dibubarin sekarang aja, Pak. Kita bisa lanjutkan kekacauan ini besok pakai kepala yang lebih ringan dari sekarang." Jujur, aku sudah tidak bisa memikirkan semuanya saat ini. Berat sekali rasanya.

"Oke."

Dari dulu, Reno selalu menjawab singkat seperti itu ketika aku meminta apapun darinya.

***

Sepuluh menit setelahnya, aku sudah berada di parkiran kantor dengan tas yang aku tenteng di tangan kanan. Reno benar-benar membubarkan timnya tepat ketika aku sudah duduk di kursi milikku.

"Ay, kamu beneran mau pulang sendirian? Selarut ini?" Suara itu kembali terdengar di belakangku.

"Iya, Pak."

"Aku bukan bapak kamu, Ay."

"Tapi kita masih di lingkungan kantor."

"Cuma ada kita berdua, Ay."

"Tetap tidak bisa, Pak. Permisi, saya duluan."

Meladeni Reno memang cukup menguras tenaga yang ada.

"Ay, kamu bisa tinggalin mobil itu dan pulang bareng aku."

"Mobil ini lebih berharga daripada diri saya sendiri."

"Ay, benar-benar sudah tidak ada harapan buat aku?"

"Gak ada."

Lagi, aku meninggalkan Reno sendirian.

Sesampainya aku di rumah, di sana sudah dalam keadaan hening. Pintu tempat kekasihnya berada pun tertutup rapat. Sepertinya Mas Je sudah tidur. Maka dari itu, aku menutup pintu pelan-pelan. Bahkan saat menguncinya pun, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara.

Namun ketika sudah membalikkan badan, aku sangat terkejut. Ada sesosok yang berdiri di depan pintu ruangan bermain Mas Je. Padahal aku tidak mendengar ada suara pintu terbuka dan tertutup sebelumnya.

"Mas Je? Itu kamu?" Aku menjerit di tempat berdiriku.

"Bukan, ini rohnya." Betapa menyebalkannya jawaban itu.

Aku segera berjalan cepat ke arah Mas Je. Kemudian memukul lengan atasnya ketika sudah berdiri di depannya. "Mas, ih. Aku kira yang berdiri itu hantu beneran tau."

Mas Je malah tertawa dan itu terdengar menyebalkan di telingaku. Langsung saja aku berjalan meninggalkan dirinya, lalu masuk ke dalam kamar. Namun aku tahu, Mas Je juga mengikuti langkahku.

Aku menyimpan tas terlebih dahulu sebelum mengambil baju ganti, kemudian masuk ke dalam kamar mandi.

Mas Je tidak tahu saja bagaimana aku ketakutan saat pulang sendirian pukul sebelas malam seperti tadi. Bagaimana jantung berdetak cepat ketika tahu ada yang mengikutiku di jalan yang sepi. Ditambah tiba-tiba melihat sosok yang hanya berdiri mematung. Rasanya takut sekali.

Cukup lama aku berada di dalam kamar mandi, karena sempat menangis dulu. Mungkin itu efek ketakutanku yang terlalu berlebih atau hanya meluapkan rasa lelah yang aku rasakan hari ini. Keluar dari kamar mandi, aku melihat Mas Je sudah merebahkan diri di atas kasur. Tanpa mengucapkan apa-apa aku ikut merebahkan diri di sampingnya.

"Masalah di kantor kamu gimana, Shay?"

"Cukup bikin aku pusing, Mas."

"Capek, ya?"

"Capek banget, Mas." Ini benar-benar aku rasakan hari ini.

"Mau aku pijitin tangan sama kakinya?"

"Gak usah, Mas. Aku gapapa." Aku menolak karena aku tahu kalau Mas Je juga capek karena hari ini dia mencuci baju dan membereskan rumah. "Mas Je juga pasti capek hari ini. Aku minta maaf ya, belum bisa bantu Mas Je ngurus rumah."

"Apa sih, Shay? Kok ngomong gitu. Secapek-capeknya aku, kamu pasti lebih capek. Pagi-pagi udah bangun, masak buat sarapan sama makan siang aku, terus berangkat kerja dan harus mikirin masalah kantor juga. Pulang-pulang kamu harus nyetir sendirian."

Jangan sampai aku menangis lagi hari ini.

"Aku gak secapek kamu, Shay, karna aku banyak istirahatnya. Yuk, sekarang kamu tengkurap. Biar aku pijitin, aku kan udah janji."

Karena aku tahu jika aku membalas Mas Je, air mataku akan jatuh lagi maka aku lebih memilih untuk mengalah. Membalikkan badan dan menyembunyikan wajah di atas bantal. Merasakan pijitan-pijitan Mas Je yang dapat membuat badanku lebih rileks hingga aku tidak tahan untuk tidak menutup kedua mata.

Here With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang