06. Usaha

1.6K 154 1
                                    


***

"T-tolong, tolong selamatkan dia."

"Kita butuh darah golongan B secepatnya! Cek persediaan rumah sakit!"

"Tidak akan cukup dok."

"S-Saya b-bisa donor, A-ambil darah saya dok."

***

Renjun terbangun dari tidurnya, mencoba membuka matanya walaupun terasa sedikit berat. Perlahan ia dapat melihat dengan jelas ruangan putih yang sedang ditempatinya bersama seorang pemuda yang sudah berdiri di pinggir ranjangnya.

"B-bang?"

Renjun merasa bingung dengan kehadiran pemuda itu di sini, ia melihat pergelangan tangannya yang sudah terperban rapi, juga luka di wajahnya yang sepertinya diobati. Dirinya kembali menatap pemuda itu.

"Bang Echan ngapain disini?" Tanyanya.

"Hahhh... lain kali, jangan gegabah. Kamu pikir, dengan kematian kamu semua masalah bisa selesai? Engga Njun, pikirin keluarga kamu." Ucap Haechan, matanya tampak menunjukkan ekspresi kecewa.

Renjun hanya bisa menunduk mendengarkan, "Maaf Bang." Ucapnya

"Harusnya kamu minta maaf sam- hahh... udahlah, cepet sembuh, kasian pegawai lain kalau kamu gak masuk-masuk." Haechan memijat keningnya dan keluar dari ruangan Renjun.



***

Dua hari kemudian, Renjun sudah diperbolehkan untuk pulang. Pemuda itu membuka kembali ruang yang hampir menjadi akhir hidupnya. Tempat ia merasakan putus asa hingga berani mengambil langkah nekat.

Renjun memandang ruang yang kini sudah di tata ulang dan dibersihkan entah oleh siapa. Tempat tidurnya digeser mendekati jendela, dan meja belajarnya kini telah dihiasi oleh sebuah lampu belajar. Hampir saja ia tidak mengenali dan mengira jika ia salah memasuki ruangan.

'Bang Echan? Kenapa orang lain yang malah peduli.' -Batin Renjun.

Bukan, bukan berarti Renjun tidak menghargai usaha Haechan, tapi ia berharap keluarganya yang peduli. Ah, benar juga. Selama ini hanya ia yang menganggap mereka keluarga. Mereka hanya menganggapnya sebagai orang asing.

'Apa ia harus mulai mencari ibu kandungnya?'

'Apa dengan begitu ia akan mendapatkan keluarga yang sebenarnya?'

Pemuda itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, menutup matanya dan membayangkan dirinya sedang berada di tengah keluarga yang harmonis, bersama dengan ibu kandungnya.

'Apa papa kandungnya juga hadir?' Renjun menimbang-nimbang.

'Baiklah, aku memutuskan untuk mencari keduanya.' Putusnya.

Renjun mengambil sebuah buku yang masih baru dan melapisinya dengan sampul, di bagian depan buku itu Renjun menuliskan 'My Dream Family' menggunakan spidol dan membungkusnya dengan sampul plastik.

Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan menyerah, sebelum mengisi buku itu dengan sebuah foto keluarga. Keluarga yang selama ini ia inginkan. Renjun memejamkan matanya, memikirkan apa yang harus ia lakukan sebagai langkah pertamanya.






***

"Renjun!"

Mendengar namanya dipanggil, Renjun menggeser bangkunya dan berjalan menunduk ke meja guru. Dirinya mencoba menutupi luka di wajahnya yang belum sepenuhnya sembuh dengan poni dan masker.

"Kamu masih inget nilai ujian kamu sebelumnya?" Tanya guru itu.

"Masih Bu."

Wanita itu menghela napas, "Njun, ibu perhatikan nilai kamu akhir-akhir ini semakin turun. Ada masalah nak?" Ucapnya menambahkan sembari membuka rekap nilai.

"Maaf Bu, nanti saya usahain lebih baik lagi." Sesal Renjun, ia meremat kertas ujiannya yang tertera nilai merah disana.

Tapi taukah ia, itu bukan jawaban yang diinginkan gurunya. Wanita itu hanya merasa khawatir pada muridnya, bukan kecewa. Sepertinya Renjun salah mengartikan perkataannya. Pemuda itu kembali ke tempat duduknya.

Satu minggu tanpa kehadiran sepupunya sangat membuat perubahan signifikan pada Renjun, jika biasanya ia akan bergabung dengan para siswa lainnya untuk melakukan hal-hal konyol di waktu istirahat, kini ia hanya diam di tempat duduknya.

Ia kembali memerhatikan penjelasan guru di depan kelas, namun beberapa saat kemudian matanya terasa memburam, Renjun mengosok-gosok matanya hingga pandangannnya kembali jelas.

Lagi, mata Renjun tampak memburam. Ia menggelengkan kepalanya dan mengerjap beberapa kali, hingga dirinya memutuskan untuk pergi ke toilet, membasuh wajahnya. Renjun mengangkat tangan untuk meminta ijin.

"Bu. Boleh saya ijin ke toilet?" Tanyanya.

Renjun berjalan di koridor kelas dengan langkah cepat, tak jarang dirinya menabrak bahu siswa yang melewatinya. Ia merasa tubuhnya aneh, langkah kakinya tak beraturan dan tidak seimbang. Renjun memegang kepalanya yang tiba-tiba berdenyut nyeri.

Sesampainya di toilet, pemuda itu mengeluarkan sebuah kotak obat sakit kepalanya yang akhir-akhir ini selalu dibawanya. Renjun rasa kepalanya mau pecah, ia bersandar di salah satu dinding toilet, menunggu obat yang ia minum bekerja pada tubuhnya.

Beberapa menit kemudian, sakit kepalanya berangsur menghilang, dan kini pandangannya pun mulai membaik. Renjun membasuh wajahnya dengan air dingin dan memandang pantulan dirinya sendiri di cermin.

"Menyedihkan." Ucap Renjun pada dirinya sendiri.




***

"Cih, Aku kira dia udah mati." Ucap Jeno sembari memandangi Renjun yang melintas di lorong kelas.

Jeno memotret Renjun dan mengirimkan pesan pada adiknya. Ia datang ke sekolah berniat untuk memperbarui surat izin sakit adiknya, namun ia malah melihat Renjun berlari menuju toilet.

Setelah membuatnya mendapatkan masalah, anak haram itu terlihat baik-baik saja dan itu membuat amarah Jeno tersulut. Ia menghampiri Renjun dan menyeretnya untuk ikut dengannya ke taman belakang.

Bugh!

Satu bogeman mendarat di pipi Renjun membuatnya terjatuh ke atas tanah.

"Mau lu apa sih Anjing?!" Bentak Jeno, ia mencengkram kerah seragam Renjun hingga tubuh kurus itu sedikit terangkat.

"Maksud abang apa? Renjun gak ngerasa buat masalah." Renjun berusaha melepas cengkraman Jeno, lehernya terasa tercekik.

"Lu lahir juga udah jadi masalah! Dasar anak haram! Gara-gara lu, hubungan gue sama bunda makin jauh. LU BISA GAK SIH MATI AJA?!" Jeno mendorong Renjun hingga kembali terjatuh.

Renjun menunduk mengepalkan tangannya erat. Tidak, ia tidak boleh mati, ia tidak akan pernah mengulangi hal yang sama hanya karena gertakan Jeno. Ya, Renjun sudah berjanji pada dirinya untuk tetap hidup hingga dirinya merasakan yang namanya keluarga.

Pemuda itu bangkit dan menarik tangan Jeno yang berjalan menjauhinya. Ia membalas pukulan Jeno tepat di rahangnya dan menunjuk wajah sepupunya itu dengan Jari telunjuknya mengancam.

"Hubungan Bang Jeno sama tante Yolanda itu bukan salah aku, berhenti nyalahin orang lain!" Teriak Renjun sebelum meninggalkan Jeno yang terdiam kaget.



tbc

Luka -Renjun ft. NCT DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang