Gumitir (1)

48 12 2
                                    

Hal yang paling menyebalkan dalam hidup Gumitir ialah sekolah. Kenapa di dunia ini sekolah harus ada? Kenapa anak-anak wajib untuk bersekolah? Kenapa semua kehidupan setiap orang harus dimulai dengan bersekolah? Deretan gedung penuh penyiksaan yang disebut sebagai sekolah itu tak pernah akrab dengan Gumitir. Kenapa dalam tiap minggu di hidupnya harus berisi penderitaan? Kenapa semua orang sama busuknya? Gumitir tidak bisa menjawab pertanyaan yang selalu ia tanyakan itu entah pada siapa. Dalam isak tangis saat rambutnya ditarik oleh teman sekelasnya, Gumitir selalu menanyakan kenapa manusia saling menyakiti? Padahal tiap manusia mengerti akan rasa sakit, kenapa saling menyakiti? Siraman air dingin tiba-tiba mengguyur wajah Gumitir, diiringi dengan gelak tawa teman-teman sekelasnya.

"Manusia payah dan lemah seperti mu tidak layak hidup, tak pernah kah terpikir oleh mu untuk bunuh diri? Tak pernah? Atau kau menunggu maut menjemput mu, hah?" Gadis berambut panjang dan berombak itu menjambak rambut Gumitir sampai terus meringis kesakitan. Wajah cantiknya tertawa lebar hingga garis matanya terlihat lenyap.

"Hentikan Mely, jangan bilang begitu. Kalau dia mati nanti siapa yang jadi mainan kita?" gadis dengan rambut pendek berjerawat dan hidung pesek itu menahan tawanya, dengan botol minuman dingin yang tersisa setengah.

"Kalian tahu, ibunya sering terlihat jalan dengan pria yang berbeda-beda. Orang tuaku bilang pria yang dia ajak jalan selalu masih tampak muda. Seperti wanita murahan." Lisa dengan rambut poninya yang entah kenapa selalu rapi, giginya yang sedikit maju dan berusaha ditahan dengan kawat gigi itu tertawa lalu memasukkan tahu isi yang sangat pedas ke mulut Gumitir, Gumitir langsung gelagapan. "Makan ini! Tubuh gembrot mu itu butuh makan banyak kan?"

"Tidak cocok disebut wanita murahan dong, mungkin ibunya sendiri yang memilih pria-pria muda itu sebagai simpanannya." Mulut Gumitir yang masih tersumpal tahu isi langsung dijejali botol air minum "Minum! Sehabis makan kalau tidak minum bisa haus!" seru Rita sambil tergelak.

"Enak?" Mely kembali menjambak rambut Gumitir, Gumitir sedari tadi hanya diam dengan isakan yang berbisu "Kau dengan ibumu sama saja, sama-sama wanita rendah, payah dan tidak berguna." Mereka bertiga tertawa terbahak-bahak lalu meninggalkan Gumitir yang terduduk di pojok jalanan sepi dekat gedung yang hendak di bangun samping komplek persekolahan mereka. Mereka membawa Gumitir begitu Gumitir berdiri di tepi jalan menunggu angkot. Menyeretnya ke tempat sepi dan merundung Gumitir sampai mereka puas. Sekarang bertambahlah daftar alasan kenapa Gumitir membenci bersekolah. Gumitir terduduk dan diam, dia menutupi mukanya dengan telapak tangannya dan menangis dalam kesunyian, ia malu didengar orang lain yang walaupun ia menangis bersuara pun tak akan terdengar karena bising jalanan.

Dalam tiap hujan dan badai selalu ada pelangi, dalam tiap gelap selalu ada cahaya pada akhirnya. Lalu kenapa pelangi dan cahaya ku seakan musnah selamanya? Apa semua ini belum cukup untuk dikatakan akhir? Semua penderitaan ku itu tak ada artinya? Itulah yang selalu Gumitir keluhkan sesaat setelah ia mendapat perundungan dari teman-teman sekelasnya. Padahal dia tidak mengganggu siapapun, tidak merugikan siapapun bahkan tidak ada siapapun yang mau berinteraksi dengannya di sekolah. Tapi kenapa dia jadi bahan perundungan? Kota Cirebon bisa menjadi saksi, sejak SMP dia selalu dirundung hanya karena kulitnya lebih gelap dan tubuhnya yang gempal. Sejak SMP dia dirundung karena kabar miring mengenai ibunya yang sering berganti teman kencan. Sejak SMP dia dirundung karena tidak bisa apa-apa. Tapi, apa itu adalah benar-benar sebuah alasan kuat untuk merundung dirinya? Apa yang dipikirkan orang-orang yang merundung dirinya?

Kalau di sekolah dia selalu dirundung, lalu kenapa dia harus sekolah? Kenapa dia harus menurut pada sistem bodoh yang mengharuskan ia sekolah? Ia harus sekolah bukan karena kewajiban bersekolah yang entah ditetapkan oleh siapa, dia bersekolah selama ini karena paksaan ibunya "jangan permalukan Ibu dengan tidak bersekolah!" dia juga berkali-kali sejak SMP ingin pindah sekolah, namun gengsi ibunya selalu tinggi "mau ditaruh di mana muka Ibu kalau kamu bersekolah di sekolah murah? Sudah! Jangan permalukan ibu lebih dari ini, sudah cukup kamu permalukan Ibu dengan menjadi anak yang kelewat bodoh tanpa prestasi. Kamu tidak pernah berpikir untuk meraih prestasi dan membuat nama ibu jadi lebih baik? Anak tidak berguna, hanya bisa menyusahkan!" atau mungkin jika dia terus dirundung seperti itu, kenapa dia tidak mengadu saja pada guru? Tentu Gumitir sudah mencoba mengadu pada guru, bahkan sejak saat ia masih SMP, ia menyampaikan jika ia sering dirundung oleh senior dan teman-temannya. Namun, apa jawaban yang harus Gumitir terima? "Namanya remaja, bercanda tidak jadi masalah kan Gumitir? Mungkin kamu saja yang terlalu ambil hati, mereka hanya ingin membuat lelucon denganmu, seharusnya kamu tertawa bukan mengadu pada ibu. Cobalah untuk bergaul, kamu terlalu penyendiri sehingga teman-teman kamu yang ingin bercanda dengan kamu, namun kamu anggap itu sebagai perundungan. Kamu ganggu waktu ibu saja, sudah ya. Kembali ke kelas, sebentar lagi bel masuk berbunyi." Atau jawaban lain yang selalu berujung pada keadilan yang tak pernah memihak Gumitir. Mungkin juga karena Gumitir yang kurang pandai dalam menyampaikan sesuatu, sehingga guru-guru tidak jelas menangkap maksud Gumitir.

Cirebon dan Pohon Balas Dendam (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang