Prolog

40 0 0
                                    

Manusia diciptakan dengan pikirannya, pengalaman hidup membuat pikiran kian berkembang, seharusnya. Tak selalu dari buku, jendela dunia bisa dibuka dari pengalaman, khususnya ngobrol. Apalagi di era AI begini, media sosial juga menjadi sumber utama arus informasi. Di situ lah beratnya ujian manusia dalam berpikir.

Sebagai seorang ibu yang juga sembari bekerja karena BU hehehe nggak kok, karena sudah masuk zona nyaman, aku sering berkelahi dengan pikiranku sendiri. Apalagi udah banyak banget informasi yang aneh-aneh, dan itu memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba udah penuh aja di kepala.

Membuat rangkaian tulisan ini adalah murni dari pertanyaan-pertanyaanku sendiri, dan sembari aku masukin beberapa kutipan yang pernah terngiang di kepalaku. 'Hati wanita lebih dalam dari samudera' adalah kutipan yang pasti sudah seringkali terdengar. Begitu pula pikirannya, lebih luas dari antariksa dengan miliaran tanya.

Seperti pertanyaan sederhana yang pernah ditanyakan seorang Najwa Shihab, 'Kenapa perempuan selalu ditanyakan pilihan mau jadi ibu rumah tangga atau wanita karir? Kenapa laki-laki tidak pernah ditanyakan pilihan seperti itu?'. Sebenarnya pertanyaan ini muncul karena memang budaya yang sudah mengakar saja.

Namun, semakin ke sini, semakin banyak pula perempuan yang mempertanyakan semua stereotipe, yang padahal dahulu pun di-iyaiya-kan saja. Tapi tunggu dulu, terlalu banyak pertanyaan ternyata juga bisa mengganggu. Karena ada pertanyaan-pertanyaan yang sudah ada jawabannya.

Dan sekarang banyak juga perempuan yang pertanyaannya justru merendahkan laki-laki. Bukankah lebih baik saling menghormati saja? Netral.

Ah, susah ya berdiri di tengah. Padahal kalau ada di tengah batas jalan saja, kita bisa melihat arus mudik dan arus balik dengan jelas. Tapi kalau semua netral, siapa yang akan membela kebenaran dan keburukan? Ternyata netral tidak selalu menyebabkan keseimbangan ya?

Tapi, mari coba berdiri di tengah bersamaku, walaupun nggak yang di tengah-tengah juga sih. Karena ketika aku berpikir dan mengungkapkannya, terutama tentang suatu fenomena, atau berita, atau isu, terkadang sering berbenturan dengan pandangan orang lain.

Tak jarang juga membuatku dan orang lain tersebut beradu dalih, dan aku paham betul bagaimana kesalnya orang-orang itu ketika aku tetap bertahan pada pandanganku. Karena aku pun sama kesalnya jika mereka tidak sepemikiran denganku.

Semakin bertambah usia, saya semakin menyadari bahwa perdebatan merupakan hal yang tidak penting. Karena setiap orang dewasa akan selalu punya pandangannya masing-masing.

Sisi egois manusia pasti ada. Sekali pun aku melihat orang-orang yang santai dalam hidupnya, mereka juga punya ego. Ya, ego tidak mau ribet, padahal sesekali manusia pasti perlu ribet toh? Atau setidaknya pasti harus merasakan ribet dengan orang lain.

Misalnya deh, pengalamanku sendiri nih sebagai perempuan, entah kenapa tiga hari sebelum menstruasi, hati dan pikiranku tuh kalut. Dikritik sedikit saja kesalnya minta ampun, tidak dituruti sedikit saja marahnya ampun-ampunan. Ribet kan? Kalau para perempuan sepertiku berada di dekat orang-orang yang nggak mau ribet, pasti ditinggal, bertengkar, dan sebagainya.

Itu lah mengapa bagiku, perdebatan itu tidak penting, aku lebih memilih untuk saling menghargai saja lah. Aku berpikir Rock itu adalah musik terbaik, sementara orang lain berpikir British Pop adalah musik terbaik, ya sudah. Biarlah seperti itu. Sesekali saling mencoba mendengarkan kedua genre itu juga menyenangkan kok, bisa saling tukar ilmu.

Bhineka Tunggal Ika itu dulu waktu kecil, sering banget aku baca dibuku-buku sekolah. Itu mendamaikan. Beragam agama, budaya, adat, bahasa, semua bersatu dalam sebuah negara di Asia Tenggara ini. Ya... walaupun tetap saja ada orang-orang yang tidak bisa menerima perbedaan.

Namun kalau bicara soal perbedaan, ini juga menjadi ranah yang kompleks. Karena yang mengerikan dari perbedaan adalah bagaimana sebuah keburukan bisa diperjuangkan menjadi kebaikan, atas nama menghargai perbedaan. Wah, mind blowing, kok bisa aku bicara begini? Hahahaha. Banyak loh sekarang. Eh tapi dari dulu juga sudah banyak, namun sudah mulai tergerus zaman. Sialnya, yang dulu tergerus, tumbuh lagi dengan cara berbeda.

Kalau baca buku atau film bagaimana kehidupan di tahun 1200-an yang kejam dan penuh dengan hukuman-hukuman sadis, pada saat itu mayoritas orang pasti menganggap hal itu adalah wajar. Segelintir orang memperjuangkan kebenaran, yang membawa dunia keluar dari era itu.

Era 1500-an, atau 1900-an, kekejiannya berbeda lagi, tapi dunia berhasil keluar lagi dan lagi. Era 2020-an setelah pandemi Covid-19 usai, sepertinya AI dan dunia maya bisa berpotensi menjadi keburukan yang disetujui mayoritas orang. Bentuk keburukannya pun bisa beragam, aku ingin membahasnya tapi dari sudut pandangku sebagai seorang ibu, serta sebagai seorang manusia yang masih mencampurkan antara hal kolot dan modern.

Tidak semua hal kolot itu mitos, dan tidak semua hal modern itu relevan. Karena Tuhan menciptakan pikiran untuk manusia agar bisa mengambil baik dan buruk, dari semua zaman yang manusia itu lalui.

Di sini, bukan hanya berisi soal pikiranku saja, tetapi juga pikiran suamiku. Kami sebaya, menginjak usia 30 tahun. Menikah 2019, tetapi sudah bersama sejak 2012. Sudah banyak yang kami bicarakan, diselipi humor ala kami yang kemudian kami tertawakan sendiri. Seru rasanya jika pikiran itu tertuang dalam rangkaian cerita.

Santai saja ya membacanya.
Sekali pun ada bahasan isu serius. Hahaha.

Tajuk Ibu-IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang