Rasa lelah akibat lembur selama seminggu masih terasa di badan namun besok sudah Senin lagi. Artinya aku harus kembali bekerja.
"Belum selesai packing-nya, Shay?" Tanya Mas Je yang baru masuk ke dalam kamar.
Sedangkan aku yang sedang duduk dengan koper di hadapanku hanya menggeleng.
Esok hari aku harus melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Garda memang luar biasa. Pada hari biasa saja semua karyawan tidak pernah mendapat ketenangan, apalagi sekarang yang keadaan kantornya tengah diujung tanduk. Semakin dipacu.
"Mau dibantu?"
"Makasih tawarannya, Mas. Tapi gak usah, aku gapapa kok."
Aku tidak sampai hati membiarkan Mas Je membantu pekerjaanku di saat dirinya baru selesai menjemur pakaian yang sudah ia cuci.
Kalian jangan heran mengapa Mas Je menjemur pakaian di malam hari, karena biasanya setelah ia mencuci baju kami di sore hari maka Mas Je akan lupa menjemurnya. Dan harus selalu aku ingatkan dahulu baru dia berkata, "Oh iya. Aku lupa belum jemur baju, Shay, hehe."
"Kamu berapa hari di sana, Shay?"
Terhitung dari siang tadi setelah aku memberi tahunya kalau besok aku akan ke luar kota, ini kali keempat Mas Je melontarkan pertanyaan yang sama.
"Tiga hari, Mas." Namun aku tetap menjawabnya sambil berusaha untuk bersabar.
"Lama?"
"Kata Mas Je, tiga hari itu lama atau sebentar?"
Sempat berpikir, Mas Je akhirnya menjawab, "Hemm, sebentar."
Aku mengangguk puas. "Ya udah, jawabanku juga sebentar."
"Eh, lama, deh, Shay."
Terserah kamu, Mas.
***
"Shay, aku aja yang anter kamu ke bandara, ya?"
Sejak subuh tadi setelah menunaikan ibadah, Mas Je yang biasanya langsung mendekam di ruangan kekasihnya itu tiba-tiba mengikuti kemana pun aku pergi. Kecuali saat aku mandi. Mas Je menungguku di ranjang.
Ketika aku merapikan tempat tidur, Mas Je akan berdiri di belakangku. Aku menyapu, Mas Je juga mengikuti setiap langkahku. Dan kini, saat aku memasak, Mas Je duduk di bar stool memperhatikan setiap pergerakanku. Rasanya lebih gugup dibanding ketika diawasi oleh pengawas saat Ujian Nasional.
"Shay, mau ya?"
Ternyata Mas Je belum menyerah. "Mas Je, aku berangkatnya bareng temen-temen kerjaku dari kantor."
"Gapapa, kamu sama aku aja, Shay." Tidak mudah jika sudah berhadapan dengan Mas Je mode anak bontot seperti sekarang. Semua yang dirinya ingin harus dituruti.
Aku lebih memilih untuk menyelesaikan dulu acara memasakku. Takutnya jika meneruskan berdebat dengan Mas Je, aku akan terlambat.
Sekitar lima belas menit aku melakukan kegiatan membuat sarapan dan menu makan siang Mas Je, akhirnya aku duduk di hadapan suamiku yang tengah merajuk ini. "Kenapa Mas Je pengen banget anter aku ke bandara?"
"Karna kamu mau pergi lama."
Aku tertawa. "Mas, aku cuma mau pergi tiga hari doang. Bukan mau naik haji empat puluh hari."
Sambil menerima piring yang telah aku isi dengan menu sarapannya, Mas Je membalas, "Tetep aja lama, Shay."
"Hari ini Mas Je anter aku ke kantor aja."
"Gak mau."
"Ya udah, aku naik ojol ya?"
"Shay, apaan, sih?" Mas Je yang awalnya akan menyuap kembali nasi tiba-tiba menatapku dengan kening yang mengerut. "Gak boleh. Kita harus hemat."
"Kalau aku ganti handphone baru boleh?"
"Boleh," jawab Mas Je cepat.
"Iphone terbaru?" Pancingku.
"Iya, kamu boleh ganti pake apa aja. Mau yang ultra juga boleh."
"Katanya harus hemat."
"Buat ganti handphone, gapapa."
"Kalau buat naik ojol?"
"Gak boleh."
"Kenapa?" Aku tak mengerti dengan pola pikir suamiku ini.
"Kan, ada aku yang bisa anterin kamu ke bandara. Jadi kamu gak boleh boros. Kalau handphone, aku memang gak punya tokonya, jadi kamu harus beli."
"Sebegitu pengennya Mas Je anter aku ke bandara?"
"Iya."
Ya ampun.
Tak ingin memperpanjang urusan, aku memilih fokus untuk menyelesaikan sarapan. Sebab aku hanya memiliki waktu sekitar dua jam lagi untuk terbang dan satu jam sebelumnya aku sudah harus berada di bandara.
"Jadi kapan kamu mau ganti handphone, Shay? Mau aku temenin?"
"Mas Je nganggep serius?"
"Emang kamu bohongan?"
"Iya. Handphone-ku masih bagus walaupun Android."
"Kalau ganti beneran juga gapapa, Shay. Nanti aku beliin."
"Oh, makasih banyak, Mas. Tapi aku masih betah sama si Biru."
***
Mas Je benar-benar mengantar aku ke bandara. Setelah mendapat kembali paksaannya, akhirnya aku mengalah. Membiarkan Mas Je menyetir dengan tenang. Tak lupa aku memberi kabar kepada Devina serta Bosku jika aku berangkat langsung dari rumah.
Jarak dari rumah Mas Je menuju bandara itu sedikit jauh. Butuh satu jam kurang untuk bisa sampai di sana. Itu jika tidak macet. Namun sepertinya, Mas Je sangat menikmati perjalanan kali ini.
Dengan kacamata hitam, rambut yang berterbangan terkena angin dari jendela yang terbuka, serta bibir yang menggumamkan lirik lagu, Mas Je terlihat begitu menarik di mataku.
"Kamu tau lagu ini, Shay?"
"Kurang tau, Mas."
"Aku suka lagu ini dan semua lagu-lagu penyanyinya. Liriknya bagus, punya banyak makna."
Setelah didengar dan diresapi, Mas Je benar. Liriknya indah sekali. Sangat nyaman untuk didengarkan.
Senyaman mendengar rangkaian kalimat yang Mas Je ucapkan ketika aku akan berpisah dengannya. "Kalau mau terbang, tolong kabari aku ya, Shay. Begitu kamu sampe di penginapan juga tolong kabari aku. Selama di sana kamu boleh kerja banyak tapi harus tetep jaga kesehatan. Pergunain uang dari aku dengan baik, tolong dipake beli makanan yang enak dan belanja apapun yang kamu mau selama di sana. Jangan pergi sendirian kalau malam-malam. Oke, Shay?"
Kalau begini, bagaimana bisa aku tenang untuk pergi meninggalkan Mas Je?
"Oke. Mas Je juga jaga diri baik-baik. Jangan makan mie instan terus, ya. Jangan rindu masakan aku juga." Kalimat di akhir sengaja aku buat candaan agar hawa di sekitar kami tidak begitu menyesakkan dada.
"Sayangnya, aku udah rindu, Shay." Kemudian Mas Je menyodorkan tangan kanannya.
Apa dia mengajakku untuk berjabat tangan?
Sepertinya begitu. Maka aku mengulurkan tangan kananku dan menerima sambutannya. Setelah itu, aku bisa merasakan genggaman erat, disusul dengan punggung tanganku yang ditepuk pelan oleh tangan kirinya beberapa kali. "Jaga diri ya, Shay. Aku bakal tunggu kabar dari kamu di rumah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Here With Me
Chick-LitPerasaan kosong, kesepian, takut, dan ingin hilang dari Bumi adalah hal yang selalu ingin aku lupakan. Tapi nyatanya, mereka selalu kembali datang. Lagi dan lagi. Kadang kala ingin menyerah, namun aku masih waras untuk tidak mengakhiri hidup dengan...