Jihan tak ingat kapan terakhir kali ia benar-benar menangis. Air matanya seolah memang habis untuk kedua orangtuanya dulu yang meninggal bersamaan. Memberikan luka mendalam yang begitu tiba-tiba bagi Jihan. Gadis itu juga tak memiliki sandaran. Keluarga dan kerabatnya memang datang, tetapi Jihan merasa mereka sangat begitu jauh untuk digapai secara emosional. Tidak ada yang bisa menggantikan kedua orangtuanya.
Sebab, Jihan terbiasa hidup dengan kasih sayang ayah dan ibu. Dan rasa terbiasa itulah yang membuatnya enggan untuk memulai kehidupan baru dengan oranglain.
Naif memang ketika Jihan bilang ia akan berdiri sendiri. Namun, begitulah. Ia berhasil sampai di kota ini entah bagaimana caranya. Jihan berhasil menjadi Jihan yang baru. Dengan getir kehidupan yang tertinggal di belakang.
Gadis itu mengeraskan hatinya. Pun, dengan teman dekatnya, Zua, tak banyak yang ia bisa ceritakan bersama. Zua hanya tahu ia sudah tak memiliki ayah dan ibu, serta hidup sendiri. Titik. Tanpa koma karena Jihan benar-benar menutup kisah itu sejak lama.
Kalo kata Raia, ia harus mulai percaya dengan orang lain.
Dan sialnya, orang itu jatuh pada sang pemilik nama Dhary Ardiaz.
Sticky notes itu hanya diam. Tapi tidak dengan hati Jihan yang mulai berdesir aneh. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa di bawah sticky notes itu terselip paracetamol dan vitamin.
Sama persis caranya dengan bagaimana Dhary menyelipkan obat anemia ketika ia menghantam kepala Jihan telak dengan bola basket beberapa minggu lalu.
Suara pintu diketuk membuat Jihan menolehkan kepalanya dengan cepat. Sungguh pusing betulan ketika ia melakukan itu. Untungnya saja ia tidak oleng, meskipun merasa bahwa kepalanya memang sungguhan berat.
"Jihan! Ya ampun muka lo jeleknya."
Zua melenggang masuk dengan dramatis. Ia membawa dua bungkus kresek putih entah apa isinya. Tanpa dipersilakan, Zua sudah masuk ke dalam kamar kos berukuran 2x3 itu. Meninggalkan Jihan yang terdiam di pintu.
"Bubur ayam nih, enak. Gue pesenin khusus buat lo ada ati ampela sama no sambel daripada ada yang marah-marah karena lo diare."
"Siapa yang marah-marah?" Aneh. Memangnya urusan siapa Jihan mau mencret atau sembelit?
"Ada."
"Hah?"
"Aa Dhary Ardiaz." Zua langsung ngabrut, hampir terjedug dinding karena ulahnya sendiri.
Wah keren, Ry, lo bilang pengen gue istirahat tapi lo mengirimkan makhluk Tuhan paling sepik ke gue.
"Katanya lo panas kemaren. Mana sih yang katanya pan–anjir seperti diolesi hot n cream! Panasnya menusuk sampai ke tulang." Zua mengibas-ngibaskan tangannya ala orang kepanasan beneran setelah memegang kening Jihan.
"Lebay. Mana slogan lo salah lagi."
"Ya maap atuh. Gue mah nonton Netflix bukan nonton TV."
"Terserahhh."
Tidak tahu sejak kapan dirinya drop seperti ini. Namun, Jihan baru merasa sekarang, setelah ia mengecek sendiri suhu tubuhnya panas. Bubur dengan ati ampela yang biasanya terlihat nikmat itu pun rasanya tidak selera ia melihatnya. Jihan cuma pengen tidur sehingga ia memilih untuk menelan paracetamol itu dengan cepat dan tidur segera.
"Eh gaboleh." Tangan Zua menahan Jihan. "Katanya gak boleh minum paracetamol sebelum makan. Lo juga belum makan malam, kan?"
Tahu betul darimana Zua tahu soal ini, Jihan tidak ambil pusing. Ia pun akhirnya menuruti kata-kata Zua untuk makan dahulu, minum obat, dan tidur. Seolah mengerti, Zua juga tidak banyak bicara selain menemani Jihan makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Final Project
FanfictionLika-liku projek, studi pustaka, dan playlist belajar galau. Si keras kepala dan si paling sensitif sedang berusaha meraih title "Projek Terbaik" sekaligus belajar gimana caranya dua orang asing harus bertukar pikiran.