Prolog

32 7 0
                                    

AKU duduk di bangku sekolah menengah pertama yang susah senangnya ditampung sendiri. Memakai atasan putih berkerah panas, bawahan rok panjang berwarna biru, dasi yang sama warnanya dengan bawahan, ditimpa 3 garis miring benang-benang yang saling mengikat tanda tahun terakhirku di SMP telah tiba. Hingga logo OSIS yang hanya dipajang tanpa ikut serta ke dalamnya. Menginjakkan kaki di lantai kuning kecoklatan, tak jauh dari rumah, kurang lebih 10 menit untuk sampai. Berpagar besar dihadapan lalu lalang manusia, lorong sunyi yang sampingnya terdapat 2 kaca untuk refleksi diri, pajangan siswa, dan promosi dari luar sekolah. Lebar luasnya tak terkira, mungkin cukup untuk menjemur 900 manusia. Kalau lari dari ujung sampai ke ujung capek juga, entah berapa meter kali berapa meter.

Pot tanaman yang berjejer memenuhi teras setiap kelas, tanaman gantung juga ikut serta memberantas polutan yang sudah mulai mematikan bumi, walau dampaknya tak sekeras yang dicipta sampah plastik. Kini sebagai pahlawan ramah lingkungan, tanaman itu sangat disayang para pengajar gen-X maupun gen-Y yang seharusnya juga turun menurun ke gen-Z. Menyiram, menata, dan merapikan setiap Jumat yang ditentukan, yang rutin dilaksanakan mungkin kurang dari satu bulan.

Kelas 7 yang masih tertidur pulas di tempat tidur, kelas 8 yang masih mengantuk, sayu, dan merem melek, kelas 9 yang sudah terbangun 100 persen dari tidurku. Nama Senja Gitarja terlekat jelas dengan huruf berwarna hitam di atas persegi panjang merah di dada sebelah kanan yang putih berlahan kosong. Kini sudah berwarna merah, tak lagi berbenang kuning. Dijahitkannya setiap pergantian tahun pelajaran oleh nenek yang selalu sukarela membantuku. Yang dahulunya berwarna hijau menjadi warna kuning. Setelah menginjaki warna kuning yang penuh lika-liku, tibalah di warna merah. Akhir jenjang di sekolahku.

Nama yang diberi ibu dan bapak sesaat setelah beberapa hari dari kelahiranku. Senja Gitarja. Kelahiran dengan penuh bimbang. Berumur selayaknya orang-orang, atau hanya bertambah 1 tahun setelah kelipatan 4. Untung saat itu ibu dapat memilih hari, jika tidak, mungkin umurku saat ini masih 3 tahun. Seorang bayi dewasa.

Berjalan menuju pintu dekat tangga yang menjadi akses adik kelas ke persinggahannya sampai 6 jam kedepan, di sana aku berada. Di pojok sebelah kantin berada. Di tempat penuh kegelapan yang hari demi hari semakin menyelam, mengelam, dan tenggelam. Dari Juli tahun lalu sampai Mei nanti, dari banyak orang yang menyukai, hingga habis di telan cepat-cepat sampai tenggorokan. Sampai-sampai tersedak di pangkal tenggorokan.

Tahun terakhir, lebih tepatnya 2 bulan terakhir menyambut kelulusanku, seluruh manusia yang tadinya putih suci di mataku, sekarang menghitam dan gelap menuju kekelaman. Semuanya saling menghianati dan terhianati. Sama juga denganku, tak luput dari penghianatan. Entah jadi penghianat atau yang terhianati. Ritual di satu ruangan itu selalu memakai topeng, hanya lepas sewaktu berkumpul dengan keluarga mereka masing-masing (atau mungkin tetap saja memakainya).

Ada yang perlahan tapi pasti menusuk dari titik buta, ada yang senyumnya melebihi manis madu murni tapi ternyata pahit bak memakan pare satu kebun, dan banyak spesies manusia lainnya.

Lahir dan besar di kota Solo dengan iringan gamelan yang ku sukai sejak kecil. Juga biasanya bapak selalu mengajak setiap minggunya ke pendopo―tempat biasanya kami menonton―untuk menikmati pertunjukan seni. Mulai dari seni tari yang biasanya menunjukkan: Tari Bedhaya Ketawang dengan mitos percintaan kerajaan Mataram-nya; Tari Gambyong yang dahulunya digunakan sebagai upacara ritual pertanian para penari yang sekarang kerap digunakan untuk menyambut tamu, perayaan hari besar dan pernikahan; hingga Tari Serimpi yang dibawakan oleh empat penari yang masing-masing mendapat sebutan air, api, bumi, dan tanah.

Waktu-waktu tertentu juga pendopo tersebut menggelar seni peran. Yang ini sangat kusukai. Entah seni peran tradisional maupun modern, semua mimik wajah para pe-seni peran membuatku jatuh hati. Lengkap dengan gerakan-gerakan koreografi yang khas dan elegan hingga menusuk jiwa raga.

Saat sudah mulai bosan hanya menonton tari atau teater, kami berdua: aku dan bapak, atau aku dan ibu, maupun kami bertiga berkunjung ke tempat pameran seni rupa berada. Rutinitas ini berjalan sekiranya 3 tahun. Sejak kelas 2 SD hingga kelas 6 SD saja, sebab akhir-akhir ini banyak kesibukan yang harus diselesaikan. Semua orang juga sibuk mengejar mimpinya masing-masing, begitu juga denganku.

Tumbuh dengan bunyi gamelan, sinden, tekstur lukisan, puisi-puisi Katon Bagaskara, hingga keajaiban patung dan suara parau para pemain seni peran menjadikan kecilku penuh dengan seni dan antusiasnya. Entah dari cabang seni mana itu. 

Senja TermendungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang