Jangan Menangis (1)

20 8 0
                                    

"Dan yang mendapatkan nilai terjelek di kelas ini tidak lain tidak bukan ialah... yang mendapatkan nilai hampir nol ialah... dengan total nilai duabelas tidak lain tidak bukan ialah... GUMITIR" semua teman kelas Gumitir bersorak, guru perempuan dengan kemeja yang kesempitan berwarna putih dengan rok pendek yang sama-sama kesempitan berwarna hitam itu menyoraki Gumitir. Rambut pendeknya terlalu hitam untuk seusia dirinya yang menginjak umur enam puluh, lihat semua kerut di wajahnya menandakan penolakan nyata dengan rambut hitam yang sudah tentu hasil semir itu. "Saya berpikir keras Gumitir, kemampuan apa yang diperlukan untuk mendapatkan nilai sejelek ini? Saya yakin bahkan orang paling bodoh di dunia ini pun pasti tidak akan mendapatkan nilai seburuk dirimu" semua teman sekelas Gumitir tertawa mengejek.

"Mungkin dia ikut perkumpulan orang bodoh Bu!" adalah Mely dengan disertai sorakan dua babu setianya.

"Ya, dan dia pemimpin perkumpulan" imbuh Lisa.

"Gumitir, coba ibu tanya sama kamu. Di mana letak kesalahan ibu dalam mengajar sehingga kamu sama sekali tidak paham? Ini persamaan yang cukup mudah saya rasa, dan kamu gagal total? Saya tidak pernah menemukan murid sebodoh kamu dalam sejarah saya mengajar" Gumitir hanya diam menunduk di mejanya. "Ibu akan telpon orangtua kamu ya, entahlah ini sudah telpon ke berapa dan sudah berapa kali ibumu mangkir saat dipanggil ke sekolah. Otak kamu ini terbuat dari apa sih Gumitir? Unsur apa yang menyusun jaringan otak kamu? Saya benar-benar khawatir akan masa depan kamu, mau jadi apa kamu nanti jika nilai kamu terus jelek seperti ini?" sekelas penuh gelak tawa, Gumitir menahan tangis di mata nya dan hanya menunduk diam.

"Oh, jangan khawatirkan itu Bu, ibunya akan menanggung biaya hidup Gumitir selamanya" sekali lagi gelak tawa mengisi kelas, Gumitir hanya diam tertunduk. Dia sudah biasa dipermalukan di kelas. Menjadi bahan olok-olokkan baginya sudah seperti hal yang biasa.

Gumitir sewaktu SD, sewaktu ayahnya masih hidup dan waktu hidupnya tidak dipenuhi perundungan seperti sekarang, Gumitir adalah anak yang cerdas. Dari kelas satu SD, Gumitir selalu juara kelas dan menjadi kesayangan guru-guru di sekolahnya. Dia sempat mewakili sekolahnya untuk mengikuti olimpiade matematika. Namun, begitu kehidupan penuh perundungan itu datang, Gumitir sama sekali tidak mencapai prestasi apapun di sekolah. Bahkan hanya untuk lolos dari remedial ulangan harian, dia tidak bisa. Ini dikarenakan Gumitir tidak memperhatikan kelas, tidak sama sekali. Pikirannya selalu melayang masuk ke dalam dunia fantasi dari novel penulis favoritnya. Bayangan itu begitu kuat sehingga menguras habis konsentrasinya di kelas, ini semua karena Gumitir benar-benar menyingkirkan dunia nyatanya. Namun, pada mata pelajaran bahasa Indonesia, khususnya materi novel dan cerpen dia sangat menyukainya. Dia mendapat nilai yang tinggi dalam tugas menulis cerpen. Semua orang tidak mempercayainya, bilang jika dia menghafal alur cerpen dan dia hanya menulis ulang cerpen yang pernah ia baca. Karena Gumitir yang tak pernah memperhatikan kelas, ia perlahan mulai tertinggal pelajaran hingga saat ini ia sama sekali tidak mengenali matematika yang sudah dijajah huruf, pelajaran IPA dan IPS yang entah kenapa dibagi-bagi dan sejarah yang sudah jarang membahas Ken Arok. Karena nilai dan ketidakberdayaan dirinya Gumitir sering diolok-olok sebagai anak yang bodoh dan tidak bisa apa-apa. Gumitir tidak pandai dalam hampir semua pelajaran, tidak pandai dalam olahraga, tidak ikut organisasi apapun di sekolah dan selalu makan siang sendirian.

Lalu bagaimana dengan ibu Gumitir? Tidakkah dia melakukan sesuatu melihat anaknya tidak bisa melakukan apa-apa? Tentu tidak, Ibu Gumitir memiliki ego yang terlalu tinggi untuk dengan suka rela menerima anaknya bodoh tidak bisa apa-apa. Gumitir sering dimasukkan ke dalam banyak les privat oleh ibunya. Matematika, Bahasa Inggris, piano dan banyak lagi les yang pernah Gumitir jalani dan tidak ada yang pernah benar-benar memikat keinginannya. Pada akhirnya semua les itu sia-sia, tidak menimbulkan perubahan pada Gumitir. Gumitir masih dianggap menjadi anak yang tidak bisa apa-apa. Ibunya sudah tidak terlalu memusingkan dan menganggap itu hal yang tak bisa ia ubah.

Gumitir mengantre untuk membeli makan siang di kantin sekolah. Ia mengambil roti isi buah, coklat batang, burger, sepotong pizza, soda, jus jeruk dan sebungkus gorengan. Ia keluar dari kantin setelah berpapasan dengan geng Mely dengan dua babu setianya yang menggelembungkan pipi mereka dengan maksud mengejek badan Gumitir yang gempal. Gumitir duduk di taman sekolah yang tidak terlalu ramai, dan terhindar dari orang-orang yang suka mengganggunya. Gumitir merasakan ikatan rambutnya longgar maka ia membetulkan ikat rambutnya, lalu ia mengusap keringat dan mulai makan dengan sepotong pizza. Gumitir memang makan banyak, terkadang terlalu banyak. Ia suka rasa yang kuat dari makanan, ia suka asin, pedas, manis, asam dan rasa kuat lain dari makanan. Oleh karena itu dia lebih suka mie goreng daripada mie rebus, dia lebih suka mie tercampur secara langsung dengan bumbunya daripada mie kuah yang mie nya terasa hambar namun kuah yang berbumbu. Ia juga lebih sering mengkonsumsi minuman yang berasa manis, daripada air putih. Namun bukan berarti Gumitir benar-benar tidak mengkonsumsi air putih, namun kebiasaannya mengkonsumsi air berasa manis sama banyaknya dengan makanan yang ia makan.

Ketika Gumitir hendak menggigit potongan terakhir dari roti isi buahnya, ia mendengar namanya tiba-tiba dipanggil. Ia tidak tahu pasti kapan dan dimana, namun dirinya seperti mendengar suara itu. Ia menengok, tidak ada yang memanggilnya, semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang berlarian dengan temannya, belajar, membuka buku ataupun mengobrol dan bercanda. Lagipula siapa yang akan memanggilnya? Gumitir menggeleng dan menelan habis roti isi buahnya, ia siap melanjutkan untuk makan coklat. Saat ia mengupas bungkus coklat, ia kembali mendengar namanya dipanggil. Suara itu seakan bisikan sebelum tidur, benar-benar lembut membelai telinganya. Panggilan namanya terdengar halus, terdengar nyaman untuk didengar. Seperti kasih ibu yang sudah lama ia tak mendapatkannya. Gumitir mencari sekitar, namun tidak ada tanda orang yang sedang memanggil namanya.

Mata pelajaran matematika, yang sekarang sudah menjadi musuh Gumitir. Guru dengan kepala botak menjelaskan mengenai trigonimetri (makanan apa itu?), Gumitir tidak terlalu memikirkan. Justru Gumitir mulai memasuki daya khayal di dalam pikirannya, ia berdiri di sebuah tebing dengan rumput segar, angin berhembus terasa nyata membelai kulitnya serta dedaunan yang beterbangan terbawa angin. Ia melihat langit yang terasa nyata dengan awan yang saling berkejaran. Di bawahnya ialah lembah menghijau dengan desa-desa yang terdiri dari rumah-rumah beratapkan jerami. Ia memandang pegunungan es yang berdiri megah jauh di depan sana. Matahari seakan benar-benar menyengat kulitnya.

Karena Gumitir sudah memasuki daya khayal yang sering ia lakukan di kelas di saat guru sedang menjelaskan materi, Gumitir sedari tadi ditanya dan disuruh maju namun Gumitir hanya membalas dengan tatapan kosong seolah enggan menggubris "Gumitir! Jika kamu tidak suka pelajaran saya, silahkan berdiri di luar agar kamu tidak perlu mengikuti pelajaran saya! Keluar!" wajah merah padam sang guru botak berkumis tebal berperut buncit itu seakan siap menerkam Gumitir kapan saja, Gumitir yang kaget karena baru menyadari guru matematika menatap dirinya. Tanpa banyak pikir ia langsung keluar disertai gelak tawa teman-teman sekelasnya. "Dasar anak bodoh, tidak mau mendengarkan pelajaran, selamanya saja dia bodoh! Baik anak-anak semuanya, setelah ini saya akan meminta satu per satu dari kalian untuk maju mengisi contoh soal di depan." Gumitir sempat mendengar pernyataan dari gurunya yang mengatakan jika dia bodoh. Gumitir sudah biasa dianggap anak yang bodoh dan tidak bisa apa-apa, dia sudah biasa.

Gumitir berdiri di luar kelas sampai pelajaran guru matematika itu selesai, kumisnya berkedut ketika menatap Gumitir. Gumitir benar-benar takut guru yang satu ini, dia seperti macan (karena sama-sama punya kumis dan menyeramkan). Jam pulang berdering, langit sudah sore, murid-murid dari berbagai kelas dan lantai mulai berhamburan hendak pulang. Ada yang memesan ojek online, dijemput orang tua, pulang dengan sahabat ataupun pacar dan ada juga yang pulang sendirian. Gumitir hendak mengambil tasnya di kelas, namun dia menabrak arus teman-temannya yang hendak pulang sehingga dia terjatuh dan menjadi bahan tertawaan.

"Woy Gembrot! Pasti haus kan terus berdiri di luar kelas? Aku kasih minum, diminum ya, nih!" Mely mengguyurkan botol air minum yang nampaknya masih dingin, air dingin langsung membasahi tubuh Gumitir, rambutnya menjadi lebih lepek dan kusam karena ternyata air dingin itu adalah jus jeruk. Anak-anak dari kelas Gumitir banyak yang menertawakannya, kecuali mungkin yang tak mau ikut campur dan segera pergi takut menjadi sasaran selanjutnya dari geng Mely.

"Dadah Gembrot" ucap Mely dengan cekikikan dan lambaian tangannya yang menyebalkan. Lalu dia pergi bersama dua babu setianya dengan gelak tawa. Samar-samar Gumitir mendengar "kita ke mall yuk, mood aku lagi bagus. Kita bisa belanja, aku yang bayar" ucap Mely yang membuat dua babunya kegirangan.

Cirebon dan Pohon Balas Dendam (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang