1

44 0 1
                                    

Murti duduk di atas batu bulat di tepi sebuah taman yang luas. Taman rumput gajah yang hijaunya mendayu-dayu. Ada aneka tanaman perdu menghiasinya berselang-seling dengan bongkahan batu-batu besar kecil yang ditata apik seakan ingin memberi kesan alami. Entah batu asli yang sengaja diambil dari sungai atau batu buatan manusia Murti tidak mempedulikannya. 

Murti menyelonjorkan kedua kakinya berusaha menghilangkan penat jauh berjalan kaki. Menghela nafas sambil sesekali nafas panjang melonggarkan dadanya. Murti menengokkan kepalanya memutar badannya dan tersenyum sendiri.

Ada tanaman perdu dengan daun kecil-kecil berwarna keperakan layaknya butiran embun yang jatuh berserak di atas tanah. Ada tanaman perdu dengan bunga tujuh kelopak berwarna gradasi orange tua di tengahnya hingga kuning pupus di ujung kelopaknya. Ada tanaman perdu dengan daun hijau kurus kecil panjang-panjang seperti lidi dan berbunga banyak kuntum kecil dalam satu tangkainya berwarna ungu.

Ah, sejauh mata memandang Murti mengedarkan tatapannya satu per satu pada semua tanaman hias di taman itu layaknya seorang peneliti tanaman. Pastinya kesan alami pemandangan di sana sangat menggoda. Murti menikmati godaan itu. Murti kembali tersenyum sendiri. 

Duduk disitu Murti berteduh di bawah bayangan besar pohon Kecapi yang tumbuh di taman luas taman sebelahnya. Sudah sering Murti melihat pohon Kecapi. Di kampungnya sering ia jumpai. Tapi pohon Kecapi yang sarat dengan buah berkulit kuning hampir memenuhi semua ujung ranting baru kali ini Murti merasa takjub. 

Murti bangkit dari duduknya memunguti beberapa buah Kecapi yang jatuh di tanah. Dia mengambil beberapa buah yang nampak bagus. Bolehlah ia memakannya. Bukankah itu buah-buah yang jatuh seperti sengaja pohon itu menyediakan untuk para pengunjng? Lalu ia duduk kembali berpindah ke atas batu besar yang lebih datar dan luas. Tidak terlalu sulit memecah buah walaupun tidak ada pinggir pintu yang bisa digunakan untuk menggencet buah Kecapi agar terbelah.

Sambil duduk bersila Murti tidak mempedulikan tatapan pengunjung lain yang melewatinya. Mungkin mereka heran melihat seorang perempuan duduk sendiri di atas batu datar, bersila sambil makan buah Kecapi dengan nikmatnya. 

Selesai makan tiga buah Kecapi manis luar biasa dan membuang biji ke tanah sambil bergumam "biar tumbuh" dan kulit buahnya ia buang di onggokkan sampah buah dekat situ, Murti duduk kembali lalu mengambil gawainya dari dalam tas ranselnya. Murti hanya ingin memeriksa saja mungkin ada kabar baru. Tidak ada. Murti menyimpan kembali gawainya ke dalam tas ranselnya.

Sambil menghirup udara bersih yang melimpah di ruang lepas, Murti meneguk sedikit minuman dingin dari dalam tempat minum yang ia bawa dari rumah. Setelah menghabiskan air bening yang ia bawa dari rumah, tadi ia sempat membeli minuman perasan jeruk alami dari kios kecil yang tersedia di dalam Kebun Raya dan menyimpannya dalam tempat minumnya dengan menambahkan beberapa butir es batu.

Dinginnya es di dalam tempat minumnya menembus sampai keluar menimbulkan titik-titik embun membasahi telapak tangan kanannya yang memegang tempat minumnya. Sesekali Murti mengusap titik-titik embun es itu dengan telapak tangan satunya membasahi wajahnya yang memerah terpapar sinar matahari siang.

Murti merasa segar.

Hari itu sudah sejak pagi Murti datang bahkan loket karcis pun belum buka. Sengaja ia datang pagi-pagi supaya ia menjadi orang pertama yang membeli karcis dan masuk. Tidak terlalu sulit untuk itu. Hari ini bukan akhir pekan, bukan pula hari libur sekolah. 

Jadilah Murti menjadi pengunjung pertama yang melewati gerbang besar masuk Kebun Raya. Di belakangnya tidak ada siapa-siapa. Ringan kaki Murti melangkah seakan ialah pemilik Kebun Raya ini.

Dalam lebatnya pohon-pohon besar dan tumbuhan-tumbuhan langka Murti berjalan santai, sendiri,  menelusuri jalan aspal yang meliuk-liuk bercabang kesana kemari melintasi membelah di dalam Kebun Raya di antara taman-taman dan kolam-kolam besar dengan tanaman air di atasnya.

Tas Ransel ala anak muda, tas ransel kuliahnya dulu yang dirawat dengan sangat baik warna biru langit  bertengger manis di punggungnya dan payung panjang cantik hadiah dari sahabat kuliahnya dulu juga warna biru tapi lebih gelap  setia menjadi pegangannya menopangnya saat letih menghadapi jalan yang menanjak.

Dalam istirahatnya Murti merebahkan tubuhnya di atas batu besar datar yang terasa hangat di punggungnya. Hangat karena terpaan sinar matahari yang jatuh di atasnya.

Matanya menatap langit Bogor yang cerah sambil sesekali menyapu pemandangan alam di Kebun Raya.

Sungguh Murti merasakan sensasi yang amat sangat luar biasa memenuhi ruang batinnya sejak selesai subuh berangkat tadi dari rumah hingga menjelang siang itu. Sejak semalam malah. Tidak. Sejak beberapa hari sebelumnya. Sejak Murti menyiapkan diri melakukan semua ini. Sejak ia berniat dan mendapatkan banyak tentangan. Ini tantangan.

(lanjut cerita ke eps.2 ya)

KILASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang