Sore itu sesudah shalat Ashar, Ibu Latifah duduk sendiri di teras belakang rumah. Duduk menghadapi kebun kecil dengan kolam mungil berisi kura-kura sambil membaca buku bacaan ringan. Di meja di samping kursi yang didudukinya ada segelas air putih panas dengan sebatang sereh besar di dalamnya dan sepiring rebusan campur ubi merah, singkong, dan jagung semua masih panas. Nanti Ibu Latifah akan meminum seduhan sereh itu hangat-hangat. Sebentar lagi anaknya yang bungsu pulang.
"Assalamu'alaikum," sapa Murti sambil memasuki rumah. Benar bukan? Ini saatnya Murti tiba di rumah. Selepas kuliah Murti selalu langsung pulang ke rumah. Kalau toh ada kegiatan lain Murti selalu memberi kabar ke ibunya atau sebelum berangkat sudah menyampaikannya.
"Wa'alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh," jawab Ibu Latifah.
Murti mencium tangan dan pipi ibunya lalu memeluknya. Selalu begitu bila berjumpa dengan ibunya dimana pun. Murti sangat santun sekaligus manja kepada ibunya.
"Mmm… anak ibu, dari mana-mana langsung saja cium-cium dan peluk ibu. Mandi dulu sana," kata ibu Latifah sambil tersenyum.
"Kangen," kata Murti.
"Baru juga sehari nggak ketemu," jawab ibu Latifah senyum-senyum sambil memakan potongan ubi merah, meniup-niupnya karena panasnya masih terasa.
"Murti, mandi dulu dan shalat nanti Murti ke sini lagi, ya bu,"
Langsung Murti meninggalkan ibunya.
Tak lama Murti yang sudah wangi dan segar duduk di samping ibunya dan mengambil jagung rebus lalu memakannya.
Mereka mengobrol kesana kemari sesekali tertawa kalau ada yang lucu.
"Murti, umurmu sudah 19 tahun, sudah punya pacar belum?" tanya ibu Latifah tiba-tiba.
"Ih, ibu. Tiba-tiba nanya lagi soal pacar. Ya nggaklah, bu. Murti masih mau kuliah dan segera jadi guru SD seperti ayah," jawab Murti dengan hati yang sedikit berdebar.
Ini adalah pertanyaan yang sama untuk kesekian kali ibu Latifah tanyakan sejak Murti lulus SMA satu tahun yang lalu.
"Beneran..??" goda ibu Latifah.
"Iyyaa… masak sama Ibu Murti bohong, sih,"
"Kalau ada yang mau sama Murti, gimana?" tanya ibu Latifah hati-hati.
"Alhamdu lillah. Tapi Murti masih mau selesaikan kuliah Murti dulu, bu. Paling tidak masih tiga tahun lagi. Apa mau dia menunggu Murti selama itu? Pasti tidak akan mau," jelas Murti.
"Kalau dianya mau, gimana?"
"Ah, tidak bakalan mau deh,"jawab Murti mantap.
Sebenarnya Murti sungguh ingin menikmati dulu kesendiriannya, fokus pada kuliahnya, bekerja dulu jadi guru SD baru memikirkan berumahtangga.
"Murti, dengar, nak. Kamu tau keluarga pak Subondo kan? Mereka sekeluarga pernah berkunjung ke rumah kita dulu waktu ayahmu masih ada. Anak sulung mereka laki-laki rupanya suka sama kamu, nak," kata ibu Latifah.
"Hah…? Anak yang mana..? Ah, Ibu ada-ada aja. Murti waktu itu kan masih SMA kelas satu," kata Murti malu-malu.
"Iya betul. Yang tinggi, kurus dan rambutnya sedikit ikal. Anak tertua pak Subondo. Sekarang dia sudah bekerja dan sampai sekarang dia tetap suka sama kamu. Memangnya kamu nggak sadar kalau beberapa kali dia sudah pernah datang ke rumah kita. Ada saja alasannya untuk bisa berjumpa dengan kamu. Dan beberapa kali juga kamu pernah menemani dia mengobrol, kan? Malah kamu pernah pergi ke toko bersama-sama,"
KAMU SEDANG MEMBACA
KILAS
RomansaHubungan itu mengalir begitu saja tanpa seorang pun tahu itu akan terjadi. Ketidaktahuannya kadang memunculkan kisah penuh tanya. Mengapa? Mengapa? Dan mengapa? Tidak ada yang harus disalahkan dan tidak ada yang salah. Kembali ke jalan yang benar i...