6

13 1 0
                                    

Langit mendung seakan mewakili suasana duka keluarga Subondo dan keluarga Harun.  Hari ini pernikahan Murti dilaksanakan di rumah Murti. Sangat sederhana. Musik Kebo Giro yang rencananya akan mengiringi pengantin ditiadakan. Tidak ada suara musik sama sekali. Dan, mempelai prianya bukan Ilham. 

Sehari setelah pemakaman Ilham, dengan sangat hati-hati adik laki-laki Ilham, Muhtar, berbicara kepada ayah dan ibunya. Muhtar berniat menikahi Murti. Mereka masih berduka untuk membicarakan dengan keluarga ibu Latifah tentang kelanjutan acara pernikahan anak-anak mereka yang tinggal beberapa hari lagi. Keinginan Muhtar seperti memberi jalan keluar.

Namun Bapak dan Ibu Subondo tetap saja sangat terkejut. Di tengah kemelut duka, mereka tidak menyangka bahkan tidak pernah membayangkan untuk menggantikan posisi Ilham dengan Muhtar, adiknya. Walaupun Muhtar ini pun sudah bekerja.

"Muhtar, tidak mudah membangun cinta dan rasa kasih sayangmu kepada Murti. Karena yang cinta dan sayang kepada Murti sebagai laki-laki adalah kakakmu. Makanya mas Ilham mendesak ibu untuk menyampaikan kepada ibu Latifah agar Murti mau jadi istrinya. Tapi Tuhan berkehendak lain," kata pak Subondo kepada Muhtar.

"In Syaa Allah, bapak, ibu, Muhtar akan mencintai dan menyayangi Murti dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya," kata Muhtar santun.

"Dan tidak mudah juga bagi Murti untuk menerimamu sebagai suaminya karena Murti sedang dalam proses mencintai kakakmu. Lalu sekarang dalam perjalanannya tiba-tiba ia harus mengubah arah menjadi cinta kepadamu dan menerimamu sebagai suaminya meski itu takdir yang tidak bisa dielakkan. Murti itu anak berbakti pada orang tuanya. Murti menurut saja ketika akan dinikahi oleh kakakmu," lanjut pak Subondo.

"Iya, bapak, ibu, Muhtar paham hal ini semua. In Syaa Allah Muhtar akan sabar menghadapinya. Muhtar juga sudah paham bahwa Murti tetap akan melanjutkan kuliahnya dan bekerja menjadi Guru," kata Muhtar.

Ibu Subondo hanya bisa terdiam sambil menyeka air matanya dengan tisu. Ia merasa sangat sedih dan berduka kehilangan anak sulungnya yang artinya ia juga akan kehilangan kesempatan berbesan dengan ibu Latifah. Bukankah ia yang mendesak ibu Latifah agar mau menerima Ilham sebagai menantunya?

Dengan kepergian Ilham lalu Muhtar bersedia menikahi Murti, ibu Subondo sama sekali tidak berpikiran seperti itu. Sekarang Muhtar yang mengajukan diri untuk menikahi Murti. 

"Kamu jangan terpaksa. nak," kata ibu Subondo.

"Ibu yakin tanpa kamu menikahi Murti, mereka tetap akan bisa menerima kepergian kakakmu sebagai takdir yang mereka hadapi," kata ibu Subondo.

Muhtar tidak menanggapi perkataan ibunya.

"Bapak, ibu, maukah menyampaikan kepada ibu Latifah dan Murti niat tulus Muhtar untuk menikahi Murti?" Muhtar meminta dengan suara penuh harap.

—-

Bapak Subondo adalah teman bapak Harun ayahnya Murti. Mereka berkenalan ketika sama-sama mengajar di SD yang sama di kota kecil mereka. Keluarga mereka pun sama-sama kenal dan berhubungan baik. Kedja keluarga itu berteman baik.

Ketika bapak Subondo mendapat tugas belajar di Jakarta mereka terpaksa berpisah dan karena kesibukan masing-masing mereka semakin jarang berkirim kabar.

Setelah selesai menjalankan tugas belajarnya pak Subondo kembali ke kota kecil mereka dan menjadi guru di SMP karena posisi pak Subondo di SD semula sudah diisi oleh guru lain.

Hubungan kekeluargaan terjalin kembali. Anak-anak tumbuh besar dan manis-manis. Disaat itulah kedua ibu itu berniat untuk berbesan.  Apalagi ternyata Ilham jatuh hati pada Murti.

—--

Di tengah duka yang mendalam, ketika keluarga Subondo datang membicarakan kelanjutan acara sekaligus menyampaikan niat Muhtar menikahi Murti, Murti bersedia menerima Muhtar sebagai calon suaminya menggantikan Ilham. 

Murti tidak tega melihat duka dan letih ibunya. Semua persiapan pernikahan sudah sangat matang. Tinggal beberapa hari akad akan dilaksanakan. Lalu musibah itu datang. Soal cinta itu soal nanti saja. 

Murti berpikir, banyak pasangan suami istri yang awalnya tidak saling kenal apalagi cinta, menuruti perintah orang tua, lalu mereka menikah dan bisa membangun keluarga dan rumah tangga yang harmonis sampai maut memisahkan mereka.

"Mungkin ini jalan yang harus Murti tempuh, bu " kata Murti. Dibelai-belainya punggung tangan ibunya sambil sesekali diciuminya penuh haru. Murti duduk di lantai, badannya bersandar pada kaki ibunya, lengannya dan kepalanya ditumpukan di paha ibunya. Sedangkan ibu Latifah duduk di kursi.

"Maafkan ibu, nak, ibu yang memaksamu untuk menerima Ilham sebagai suamimu tapi ini yang kamu hadapi," kata ibu Latifah mengusap-usap puncak kepala Murti.

"Murti tidak terpaksa bu saat menerima mas Ilham jadi suami Murti. Ibu juga jangan merasa bersalah. Tidak ada yang salah. Ini ketentuan Allah, bu,"

"Tapi, kalau kau tidak menginginkan Muhtar sebagai suamimu, ibu tidak memaksamu Murti," kata ibu Latifah bijak. Ibu Latifah sangat memahami perasaan Murti hari belakangan ini.

"Semoga mas Muhtar bisa menjadi suami yang baik dan soleh buat Murti ya, bu. Dan Ibu doakan juga ya supaya Murti bisa menjadi istri yang baik buat mas Muhtar,"

"Aamiin,".

—--

Sehari-hari Murti dan Muhtar menjalani kehidupan keluarganya dengan baik. Tidak ada terdengar suara perselisihan di antara mereka. 

Setidaknya itulah yang ibu Latifah ketahui. Murti dan Muhtar tinggal di rumah ibu Latifah yang selama ini hanya hidup berdua saja, Murti dan ibu Latifah. Mereka menemani ibu Latifah yang kini nampak mulai sering sakit.


(Lanjut ya ke eps. 7)


KILASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang