Murti duduk membaca buku. Sesekali ia membuat catatan di kertas. Hari ini tidak ada kuliah. Ibu sedang tiduran di kamarnya. Belakangan ibu semakin sering merasa lemas. Sudah dibawa ke dokter dan melakukan pemeriksaan menyeluruh semua hasilnya baik-baik saja. Oleh dokter ibu hanya diberi vitamin-vitamin saja dan agar berolahraga jalan kaki 30 menit seminggu tiga kali dan setiap pagi harus berjemur paling tidak lima belas menit.
Murti terus belajar sambil menunggu Muhtar pulang kerja. Akhirnya matanya letih membaca lalu ia letakkan bukunya di meja. Udara sejuk sore itu melenakan Murti membuat Murti melamun dan teringat semua peristiwa di tahun ini.
Murti teringat saat-saat Ilham mengalami musibah lalu berpulang tanpa sempat bangun lagi apalagi meninggalkan pesan dan membuat Murti berpikir apakah ia akan menikah suatu saat nanti sepeninggal Ilham?
Teringat Murti saat-saat pemakaman Ilham lalu lamaran Muhtar yang sempat membuatnya tidak percaya sampai ternyata benar terjadi ia menikah dengan dengan Muhtar dan bukan dengan Ilham. Betapa semua peristiwa demi peristiwa itu terjadi begitu cepat.
—--
Rumah Murti mulai ramai keluarga dan kerabat sejak hari pemakaman Ilham. Semua kakak Murti berangsur-angsur hadir beserta suami mereka dan anak-anak mereka. Mbak Dyah dengan suami dan dua anaknya, mbak Eni dengan suami dan anak semata wayangnya.
Hanya mas Toto anak sulung ibu Latifah yang tidak bisa datang karena sedang menjalankan tugas sebagai tentara menjaga perbatasan negeri. Istri dan anak²nya pun tidak bisa datang karena mereka tinggal jauh, ongkosnya sangat mahal untuk mereka. Seluruh keluarga bisa memakluminya.
Pakde Mulya, kakak almarhum bapak Harun ayah Murti, dan istrinya Bude Parti sudah datang sejak seminggu yang lalu. Mereka menyempatkan datang karena ayah Murti sudah almarhum sedangkan mas Toto karena tugasnya yang berat di perbatasan maka pakde Mulya datang sebagai wali nikah Murti saat akad dilangsungkan.
Malam hari menjelang hari akad nikah, keluarga bapak Subondo kembali datang menemui keluarga ibu Latifah. Kalau di Jawa dikenal dengan sebutan Malam Midodareni, di Minang disebut Malam Bainai, di Betawi disebut Malam Pacar, di Sunda disebut Ngeyeuk Seureuh, di Banjar disebut Badudus atau Bapapi, di Minahasa disebut Gagaren, di Bugis disebut Mappaci. Indonesia memang kaya dengan budayanya.
Entahlah malam itu disebut apa karena tidak ada acara adat mana pun yang dipakai untuk menandakan bahwa esok akan ada acara pernikahan di rumah Murti. Malam itu hanya diisi acara silaturahmi, makan malam dan memastikan saja bahwa besok akan dilangsungkan akad nikah antara Murti dengan Muhtar di rumah itu.
Nasehat dari sesepuh untuk kedua calon pengantin disampaikan secara singkat saja.
Shetelah acara makan malam selesai, keluarga berkumpul di ruang tamu. Keluarga Subondo dan keluarga ibu Latifah duduk berhadapan.
Murti dan Muhtar berada di tengah keluarga masing-masing. Tak ada senyum sumringah apalagi canda gelak tawa. Suara musik adat pun ditiadakan. Suasana hening menghargai suasana berkabung atas kepergian Ilham. Wajah Murti sedari tadi hanya menunduk. Ia berusaha untuk tersenyum tapi terasa berat.
"Nak Murti, bapak bisa memahami perasaanmu saat ini. Tentu sulit bagi nak Murti untuk menerima Muhtar sebagai calon suamimu. Andai nak Murti malam ini akan membatalkan pinangan Muhtar, tentu Muhtar pun akan bisa menerimanya dengan ikhlas," kata pak Subondo membuka percakapan.
Semua menunggu jawaban Murti. Air mata Murti menggenang di pelupuk matanya. Tak sanggup ia berkata-kata. Pakde Mulya berinisiatif untuk menjawab perkataan bapak Subondo.
"Bapak Subondo, kemarin Murti sudah menerima pinangan mas Muhtar. Tentunya ini sudah Murti timbang masak-masak, ya nak Murti?" Tanya pakde Mulya. Murti mengangkat wajahnya memandang pakde Mulya lalu mengangguk pelan.
"Yakin, nak?" Tanya ibu Latifah yang duduk di samping kiri Murti sambil memandang anaknya penuh keibuan. Murti mengangguk.
Muhtar yang duduk diapit orang tuanya memandang Murti dengan tatapan sejuk meneduhkan.
"Nak Murti, bapak dan Ibu sudah menjelaskan kepada Ibu Latifah dan nak Murti waktu acara lamaran kemarin, tentang siapa Muhtar di keluarga bapak. Tentang hal itu Murti sudah paham kan?" Murti mengangguk. Muhtar diam dalam senyum tipisnya.
"Apakah nak Murti bisa menerima nak Muhtar apa adanya?" Lanjut pak Subondo bertanya sambil menatap wajah Murti dan Ibu Latifah berganti-ganti. Kembali Murti mengangguk. Ibu Latifah pun mengangguk.
Ya, sehari setelah pemakaman Ilham, Muhtar menyampaikan kepada orang tuanya bahwa ia akan menikahi Murti. Selain Muhtar bisa memahami kemelut suasana yang ada Muhtar juga yakin bahwa ia bisa mencintai dan menyayangi Murti sepenuh hati meski ia harus bersabar menunggu sampai Murti úÿbisa membalas cintanya. Keesokan harinya mereka sekeluarga mendatangj keluarga ibu Latifah dan melamar Murti untuk Muhtar.
Sangat mengejutkan dan tidak menduga sama sekali. Murti hanya bisa pasrah dan menerima lamaran itu.
—---
Kini sudah enam bulan lebih mereka menjalani kehidupan baru berumahtangga. Banyak masih kecanggungan di antara mereka.
Bila Muhtar ada waktu ia akan mengantar Murti ke kampus atau menjemputnya sambil pulang dari kerja. Mereka belum mampu bersenda gurau. Hanya obrolan-obrolan ringan seputar mereka saja. Ibu Latifah membiarkan semuanya berjalan alami saja.
Namun yang tidak bisa dipungkiri oleh Murti dan ibu Latifah, Muhtar sangat terampil membantu Murti dalam menjalankan tugas kesehariannya.
Tidak segan-segan ia membantu membersihkan rumah, halaman, mencuci pakaian, memasak bahkan sampai mencuci piring. Sering Murti merasa tidak enak hati sendiri melihat suaminya ikut turun gunung urusan rumah.
"Kamu tidak usah sungkan sama aku, Murti. Kita sama-sama tinggal di rumah ini, hidup sama-sama, sudah seharusnyalah sama-sama juga bertanggung jawab dalam urusan rumah. Kecuali ibu. Beliau sudah seharusnya duduk manis saja menikmati hati-harinya. Sudah cukuplah dulu kita setiap hari merepotkan ibu kita. Sekarang waktunya kita berbakti sama ibu," Muhtar menjelaskan kalau Murti sering mengatakan ketidak enakan hatinya melihat suaminya membantu urusan rumah atau ketika Murti melarang Muhtar untuk melakukan pekerjaan rumah.
"Tuhan ciptakan laki-laki dengan otot dan fisik yang lebih kuat dari otot dan fisik perempuan. Jadi, tenaga laki-laki itu lebih kuat dari tenaga perempuan. Jadi kamu tidak usah khawatir. Capek pasti, tapi aku senang melakukannya. Aku senang bisa meringankan beban istriku. Kamu juga pasti capek tapi dikuat-kuatkan kan?" Kata Muhtar tersenyum.
"Seharusnyalah yang lebih kuat tenaganya lebih banyak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan fisik apalagi yang berat-berar," kata Muhtar lagi.
"Tapi, umumnya begitu, mas. Suami itu harus dilayani oleh istrinya sebagai bukti bakti istri pada suami," kata Murti di suatu sore dalam perbincangan mereka di teras belakang.
"O iya, betul itu, istri harus berbakti kepada suaminya. Tapi jangan lupa, suami pun harus berbakti kepada istrinya, anak-anaknya dan keluarganya. Harus menyayangi istri dan anak-anaknya. Melindungi mereka. Melayani mereka bila mereka membutuhkan. Itu namanya suami soleh. Dan aku ingin menjadi suami soleh buatmu dan ayah yang soleh buat anak-anak kita nanti," kata Muhtar sambil menatap mata Murti yang membuat wajah Murti bersemu merah.
Muhtar tertawa melihat Murti nampak malu ditatap suaminya sendiri seperti itu.
"Mas, maafkan Murti ya, mas, sampai sekarang belum bisa melayani mas sebagai seorang istri," kata Murti dengan suara lirih. Tak berani memandang wajah suaminya. Murti sangat paham kalau suaminya sangat menginginkan ada buah hati di antara mereka.
"Mas bisa memahami kamu Murti," kata Muhtar sambil menggenggam tangan Murti dan Murti membiarkannya.
Ada getar yang Murti rasakan dan sangat sulit diterjemahkan dengan kata-kata. Muhtar membacanya sebagai suatu kemajuan yang sangat menggembirakan bahwa Murti sudah mulai membuka hatinya.
( Lanjut ya ke eps. 8 )
KAMU SEDANG MEMBACA
KILAS
RomanceHubungan itu mengalir begitu saja tanpa seorang pun tahu itu akan terjadi. Ketidaktahuannya kadang memunculkan kisah penuh tanya. Mengapa? Mengapa? Dan mengapa? Tidak ada yang harus disalahkan dan tidak ada yang salah. Kembali ke jalan yang benar i...