9

10 0 0
                                    

Kalau ada suami siaga, Muhtarlah juaranya. Muhtar selalu sigap pada kesehatan istrinya dan calon anaknya, janin yang masih dalam rahim ibunya berusia belum genap tiga bulan.

—--

Hari ini Murti masuk jam satu siang dan cuma satu mata kuliah. Muhtar sedang di kantornya. Nanti Muhtar akan meminta pak Sarjo supirnya untuk mengantar ke kampus, menunggunya dan mengantarkannya kembali ke rumah.

Ibu Latifah tiduran di kursi panjang depan televisi. Televisi yang alih fungsi menjadi radio karena mereka berdua tidak menyaksikan acaranya. 

Murti duduk di kursi yang sama. Sambil tangan Murti memijit-mijit pelan kaki ibu Latifah mereka mengobrol. 

"Murti, dulu kau pernah mengatakan pada ibu, bahwa hanya satu laki-laki di antara sejuta laki-laki yang siap menjadi suami yang soleh dan mau membantu istrinya dalam urusan pekerjaan rumah tangga. Sekarang kamu merasakannya sendiri, bukan? Bagaimana Muhtar?" Tanya ibu Latifah dengan suara tuanya pada anak putrinya.

"Iya, ibu. Murti beruntung, bu. Semoga seterusnya mas Muhtar bisa seperti itu," jawab Murti tersenyum. Sungguh ia sangat bersyukur bersuamikan Muhtar. Padahal dulu ia agak pesimis bisa mendapatkan suami yang diidamkan para istri seperti almarhum ayahnya. Pokoknya ayah is the best-lah.

"Banyak-banyak bersyukurlah kamu Murti. Biar apa pun yang kamu bisa minta tolong pada suamimu dan suamimu pasti akan mengerjakannya, tapi semua yang bisa kamu kerjakan sendiri kerjakanlah sendiri jangan banyak bergantung pada suami. Bagi wanita hamil tetap bergerak ringan itu menyehatkan kecuali ada hal-hal khusus yang mengharuskan wanita hamil istirahat total. Hamilmu baik-baik saja kan?" Tanya ibu Latifah.

"In Syaa Allah Murti akan menuruti nasehat ibu. Kehamilan Murti in Syaa Allah juga baik-baik saja, " kata Murti.

"Hormatilah suamimu sepanjang waktu dimana pun dan dalam kondisi apa pun. Hormati dengan hatimu dan perilakumu," lanjut ibu Latifah.

"Iya, bu," jawab Murti.

"Sepertinya gerimis, Murti," kata ibu Latifah ketika terdengar suara rintik air jatuh di atas atap seng plastik fiber yang menutup sebagian teras samping.

"Iya, bu. Murti akan mengangkat jemuran dulu, ya" kata Murti sambil beranjak ke samping rumah untuk mengangkat jemuran. Lalu memindahkan jamurannya itu pada kawat jemuran yang terbentang di atas teras samping di bawah atap seng plastik fiber.

Tiba-tiba Murti merasakan sakit yang sangat luar biasa di perutnya. Perut bagian bawah. Setelah selesai memindahkan semua jemurannya, Murti duduk di kursi teras. Tangannya memegang perutnya sambil merintih.

"Auww… Ibuu…," teriak Murti yang sudah tidak kuat lagi menahan sakit.

Ibu Latifah berjalan dengan langkah tuanya tergopoh menghampiri Murti. Sangat terkejut ibu Latifah melihat ada tetesan darah segar di lantai dekat Murti duduk.

"Murti..! Murti…! Kamu kenapa, nak?" Tanya ibu Latifah panik melhat kondisi putri bungsunya.

"Kamu jatuh tadi? Atau kamu tadi terburu-buru memindahkan jemurannya?" Diusapkan kepala Murti yang bersimbah keringat menahan sakit.

Murti menggelengkan kepalanya.

Segera ibu Latifah ke dalam dan mengambil telepon genggamnya lalu menelpon Muhtar.

Muhtar panik dan segera menghentikan pekerjaan kantornya untuk pulang ke rumah.

Beruntung kantor itu miliknya sendiri sehingga ia tak perlu meminta ijin pada atasan. Muhtar hanya perlu menitipkan urusan kantornya pada sekretaris. 

Diantar pak Sarjo yang belum berangkat untuk mengantar Murti,  Muhtar segera pulang. Sepanjang jalan Muhtar berdoa memohon keselamatan untuk dirinya dan keluarganya.

Melihat kondisi Murti yang mengkhawatirkan, Muhtar lalu menelpon ambulance. Dua puluh menit kemudian datang dan Murti langsung dinaikkan ke tandu yang dibawa dua petugas. 

Di dalam ambulance Muhtar terus menggenggam tangan Murti berusaha memberi kekuatan pada istrinya. Muhtar tak yakin dengan kekuatan janin dalam kandungan Murti. Ia pasrah. Muhtar harus tetap kuat dan tegar menghadapi apa pun yang terjadi karena setelah peristiwa ini pasti ia akan sangat dibutuhkan oleh Murti istrinya.

Setiba di ruang UGD persalinan dokter dan perawat menangani dengan cekatan. Muhtar menunggu di luar tidak boleh masuk.

"Innalillahi wa inna ilaihi roji'uun" sebut Muhtar mendengar kabar dari dokter yang menangani istrinya. Muhtar mengusap air matanya. Muhtar bersyukur pada Tuhan istrinya selamat walau pun janinnya tidak dapat diselamatkan. Di usia belum tiga bulan kehamilan, janinnya kembali kepada Yang menciptakan.

—--

Hati Murti sangat sedih. Berulang-ulang Murti meminta maaf kepada Muhtar suaminya karena merasa bersalah tidak mampu menjaga calon anak mereka. 

Murti sangat kecewa. Kebahagiaan mendengar berita kehamilan waktu itu ternyata hanya dinikmati sebentar saja. Amat singkat. Tapi mau diarahkan kemana rasa kecewa itu? Siapa yang bisa Murti salahkan? Tuhan? Dulu Tuhan mengambil Ilham, calon suaminya. Sekarang Tuhan mengambil calon anaknya.

Pikiran-pikiran buruk ini membuat Murti banyak melamun. Air mata seringkali menetes tiba-tiba. Muhtar menjadi sangat prihatin.

Benak Murti bertanya sendiri, apakah mungkin karena tanpa disadari sesungguhnya dalam hati Murti ada kekhawatiran kuliahnya akan terganggu dengan kehadiran anak dalam keluarga mereka? Murti belum siap. Lalu Tuhan tidak suka dengan pikiran ini sehingga yang sudah Dia berikan Dia ambil kembali..? Murti istighfar berkali-kali

Tapi Murti bukanlah perempuan jahat yang akan menggugurkan kandungannya saat benar-benar tahu bahwa ada janin dalam rahimnya. Murti pasti akan menjaganya dengan baik.

Murti merasa sangat berdosa. Berkali-kali Murti meminta maaf pada Muhtar. Murti merasa tidak becus menjaga kehamilan yang dinanti-nanti suaminya, keluarganya dan keluarga Muhtar.

Berkali-kali ia memohon ampun kepada Allah dalam shalatnya. Tangisnya selalu mengucur menyesali kesalahannya. Menyesali hati yang masih buruk.

Kata-kata menghibur dari Muhtar seperti tak ada artinya bagi Murti.

Muhtar tidak boleh putus asa.


(  yuk lanjut ke eps. 10 )

KILASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang