12

23 0 0
                                    

Selesai makan malam dan merapikan meja, Muhtar dan Murti mengajak ibu Latifah mengobrol. Muhtar menceritakan semua hasil pemeriksaan yang disampaikan dokter Lita kepada Ibu Latifah.

"Lalu apa saran dokter? Murti harus menggugurkan kandungannya? Aborsi?" Tanya Ibu Latifah dengan wajah masam. Ada kecemasan dan juga tatapan tajam berganti-ganti ke Muhtar lalu ke Murti.

"Tadi dokter juga sempat bertanya tentang hal itu, bu" jawab Muhtar

"Lalu apa jawaban kalian?!" Tanya ibu Latifah agak ketus.

"Tentu saja saya dan Murti menolak keras aborsi. Rupanya dokter tadi bertanya begitu kepada saya dan Mutri, cuma untuk menguji keteguhan kami saja. Setelah tahu jawaban kami, dokternya malah menyalami tangan kami," kata Muhtar.

"Banyak orang tua yang tidak mau menerima kehadiran anaknya yang berkebutuhan khusus. Mereka mengganggap anaknya cacat. Kalau masih di dalam rahim, janinnya akan digugurkan. Tentu saja kami akan menolak. Ini perbuatan dosa dan melanggar hukum serta kode etik kedokteran. Ada lagi pasien, kalau sudah lahir, anak itu akan dititipkannya di Panti Sosial Anak," kata dokter Lita.

"In Syaa Allah kami akan mengasuh anak kami ini dengan sebaik-baiknya, dokter. Bagaimana pun dia, inilah anak kami," lanjut Murti sambil mengucap perutnya.

"Alhamdu lillah," kata ibu Latifah lega. Wajahnya langsung lembut seperti biasanya.

"Orang yang menganggap anak berkebutuhan khusus sebagai anak cacat adalah orang yang melihat segala sesuatunya hanya dengan menggunakan mata fisik bukan mata batin," kata Ibu Latifah.

"Mereka melihatnya dengan nafsu bukan dengan iman," tegas ibu Latifah.

"Iya, bu," kata Muhtar dan Murti berbarengan.

"Allah tidak pernah salah dalam menciptakan sesuatu. Semua ciptaannya adalah benar dan sempurna," lanjut bu Latifah

"Lalu apa rencana kalian selanjutnya?" Tanya ibu Latifah.

Semua diam

"Ibu bisa menerima cucu ibu yang berkebutuhan khusus ini? Ibu tidak malu?" Tanya Murti hati-hati.

"Ibu bersyukur atas anugerah Allah yang luar biasa ini. Ibu malah malu kalau ibu menolak atau menerima dengan setengah hati kehadiran cucu ibu ini di tengah-tengah keluarga kita. Malu sama Allah," jawab ibu Latifah lembut.

Bergantian Murti dan Muhtar memeluk ibu Latifah dan mencium tangannya.  

"In Syaa Allah kami akan mendidiknya dengan iman, bu," jawab Muhtar.

—-----

Hari Minggu pagi keesokan harinya, Murti dan Muhtar berpamitan pada ibu Latifah hendak mengunjungi orang tua Muhtar. Selain melepas rindu, mereka juga akan menceritakan keadaan calon cucu Bapak dan Ibu Subondo.

Ibu Subondo menyambut Murti dengan pelukan hangatnya. Ia sangat rindu dengan menantunya yang lembut dan tegar ini. Setelah Muhtar dan Murti bergantian mencium tangan bapak Subondo berempat mereka duduk di ruang keluarga.

Ibu Subondo membelai perut Murti yang sudah membuncit itu dengan penuh kasih sayang.

"Hallo, cucuku..," sapa ibu Subondo memandang perut Murti sambil tangannya masih di perut Murti.

"Apa kabar, sayang? Nengok eyang putri, ya?" Lanjutnya lagi.

Bapak Subondo tersenyum melihat tingkah istrinya.

"Baik, eyang," Murti yang menjawab sambil tersenyum.

"Cucu eyang sudah periksa ke dokter? Apa kata dokter?" Tanya ibu Subondo lagi. 

KILASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang