“Mas Yita sama Mbak Latu, ya?” Seorang perempuan bergamis maroon dengan pashmina hitam tiba-tiba menghampiri keduanya saat duduk di salah satu meja kafe daerah Sekaran, Gunung Pati.
Latu sempat terkejut, tetapi langsung menguasai air mukanya. “Oh … saudaranya Ulung?”
Perempuan itu mengangguk sebelum mengulurkan tangan, menyalami Latu. “Sorry ya, Mbak, Mas, kalian jadi nunggu aku selesai bimbingan.”
Sedang Yita mengangguk, Latu berucap, “It’s ok, santai aja, lagian kita baru sampai sepuluh menitan. Duduk.”
“Oh iya, nama aku Aegea Setiti, panggil aja Gea.”
“Sip.”
Melihat satu bendel kertas tak terlalu tebal yang dibawa Gea, Yita membuka suara. “Lembar skripsi?”
Gea mengangguk. “Iya Mas, tapi baru yang buat sempro. Belum Acc soalnya.”
“Jurusan apa, Ge?” tanya Latu.
“Aku anak Sastra, Mbak Latu. Sastra Jawa tepatnya.”
Mata Latu langsung membulat dengan binar cemerlang. “Wah, aku juga anak Sastra Jawa. Kebetulan banget. Baru wisuda beberapa hari lalu.”
Tampak jelas bahwa Gea sama excited-nya dengan Latu. Melihat itu, Yita tersenyum tipis. Keberatan apanya, tampaknya Latu malah dapat teman sefrekuensi.
“Jadi pengen ikut cepet wisuda.” Gea terkekeh. “Tapi ini juga emang ngejar biar bisa wisuda tahun ini sih, Mbak.”
“Semoga dimudahin,” ujar Latu tulus.
“Aamiin.”
“Boleh tahu kamu ambil topik apa buat skripsi?”
Sambil menyerahkan bendel kertas miliknya, Gea mengangguk, membiarkan Latu membacanya sendiri.
Membaca deretan huruf yang tertera di halaman kover, Latu kembali dibuat terkejut. Dilihatnya Gea sambil mengerjap. “Topik kamu kayak topik yang diambil temenku. Fokus kajiannya juga sama.”
“Serius, Mbak? Wah, bisa minta tolong tips sama triknya cepet acc dong aku?”
“Bisa banget, nanti coba aku hubungin dia, ya?”
“Makasih banget Mbak Latu. Ketemu belum apa-apa udah minta bantuan.” Gea merasa tak enak sendiri.
“Santai aja.”
Seakan baru menyadari keberadaan Yita, Gea beralih pada lelaki itu. “Oh iya, Mas sendiri anak Sastra juga kayak Mbak Latu? Eh tapi, kan Mas Ulung bilang kalau Mas Yita temen seangkatannya, ya? Satu jurusan sama Mas Ulung berarti?”
Yita mengangguk dibarengi senyuman. “Iya, kami teman sekelas dulu.”
Seorang pelayan mengantarkan minuman yang dipesan Gea saat baru datang tadi. “Makasih, Mbak,” ucap Gea.
“Lanjut S2, Mas? Apa kerja kayak Mas Ulung?”
Gea bukannya kepo, ia hanya terbiasa membicarakan banyak hal agar tak kehabisan topik obrolan. Perempuan itu benci terjebak di situasi canggung.
“Lanjut S2, sedang mempersiapkan.”
“Dia mah lagi prepare ke Kanada, Ge.” Ucapan Latu sukses membuat Gea menoleh ke arahnya. “Anak pinter emang beda, lolos Toronto dia.”
Sekali lagi Gea tak bisa menyembunyikan keterkejutan. “Keren. Nanti minta kiat-kiat tembus luar negeri ya, Mas.”
“Kamu tertarik langsung melanjutkan setelah lulus?” tanya Yita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
Fiksi UmumApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...